Breaking News

Pemerintahan Kerajaan Batak

Pertumbuhan Pemerintahan Tradisional Masyarakat Batak.

Harajaon Batak, sebuah istilah untuk Kerajaan Batak, dipimpin oleh si Raja Batak mula-mula berpusat di Pusuk Bukit, sesuai dengan mitos bahwa orang Batak pertama sekali berawal dari Sianjur mula-mula (Limbong Sagala). Harajaon itu kemudian berkembang sampai ke Bakara pada Dinasti Si Singamangaraja I.

Harajaon Batak terbagi atas 4 (empat) wilayah yang di sebut Raja Maropat yaitu :
1. Raja Maropat Samosir dengan wilayah Pulau Samosir dan sekitarnya.
2. Raja Maropat Humbang dengan wilayah daerah Humbang sekarang sampai ke Samudera Hindia dan Aceh Selatan (Singkit).
3. Raja Maropat Silindung, dengan wilayahnya Silindung sekarang samapi Samudera Hindia dan perbatasan Pagaruyung.
4. Raja Maropat Toba dengan wilayahnya Toba sekarang sampai dengan Pantai Timur berbatasan dengan Riau (Kerajaan Johor).

Secara terperinci struktur harajaon Batak terdiri dari mulai unit Bius, sebagai wilayah daerah pemerintahan yang bersatu dengan Ugamo dan Adat. Maka pengertian Bius sekarang adalah sebuah wilayah kebudayaan. Kemudian tiap Bius terdiri dari Horja, yang juga merupakan kekuasaan pemerintahan, Ugamo dan Adat, dan didukung oleh marga-marga (genealogis). Struktur dan sistem demokrasi yang bertingkat dan sederhana ini mengandung prinsip check and balance yang digambarkan dengan ungkapan Huta do mulani Horja, Horja do mula ni Bius.

Sistem Pemerintahan Harajaon Batak pada masa lalu tidak bisa dibandingkan dengan sistem pemerintahan sekarang, dimana suatu negara dipimpin oleh seorang Kepala Negara. Munculnya Si Raja Batak baru ada ketika Kerajaan Haru ditaklukkan oleh Ryendra Cola III dari India Selatan tahun 1029. Gelapnya perjalanan sejarah masyarakat Batak sejak dahulu hanya terungkap sedikit, yang menyatakan bahwa sepanjang pulau Sumatera sudah ada rumpun Batak yang dapat disebut sebagai Melayu Tua, yang mendirikan kerajaan di Pulau Sumatera.

Si Raja Batak adalah Kepala negara, kepala pemerintahan, pemimpim agama, dan Raja Adat. Karena pemerintahan belum dapat dijalankan sesuai dengan kedudukan sebagai kepala negera maka jalan satu-satunya yang di tempuh adalah dengan jalan menyatukan masyarakatnya dengan sistim keagamaan dan Adat Istiadat. Pada saat itu pemerintahan belum terlaksana dengan sempurna dalam pengertian sebenarnya menurut Hukum Ketatanegaraan. Tetapi keagamaan dan adat istiadat sudah berjalan dengan baik.

Harajaon Batak yang berpusat di Bakkara pada Dinasti Raja Sisingamangaraja berperan sebagai kepala Pemerintahan, pemimpin Ugamo dan Adat. Raja Sisingamangaraja sebagai pemimpin Kerajaan tersebut dengan Parmalim. Para Parmalim dianggap orang suci, di samping keberadaannya sebagi petugas Ugamo. Dia berkedudukan pula sebagai pemberi pandangan dan nasehat kepada raja Sisingamangaraja untuk menyusun kegiatan apa yang harus dilakukan rakyatnya tiap-tiap tahun. Sedangkan Panglima-panglimanya adalah dari daerah-daerah raja Maropat.

Walaupun disebutkan terdapat pembagian wilayah Harajoan Batak, pada hakekatnya sistem pemerintahan Raja Si Singamangaraja ia langsung memerintah rakyatnya. Sekali amanat Raja Si Singamangaraja dikatakan maka titah tersebut akan menyebar dengan begitu cepat keseluruh wilayah Harajaon dan dilaksanakan oleh rakyatnya dengan penuh kesungguhan. Hal ini didasarkan keyakinan bahwa setiap pemimpin Batak sejak dari Si raja Batak sampai pada si Singamangaraja XII adalah merupakan titisan Mulajadi Na Bolon.
Sebelum sistem pemerintahan dapat berjalan dengan sempurna, maka Raja Maropat hanya dapat bertindak dalam lingkungan musyawarah mewakili masing-masing dan masih belum dapat terwujud alam bentuk kepala wilayah pemerintahan yang mempunyai wewenang sebagaimana pembagian wilayah berdasarkan struktur pemerintahan. Sistem pemerintahan Batak tradisional baru jelas kelihatan pada wilayah dalam bentuk Bius, Horja, Lumban/Huta Bolon dan Huta.

Disamping keberadaan Parmalin sebagai petugas Ugamo, sebagai cerdik cendekiawan mereka selalu meneliti apa yang berguna bagi rakyat Bius. Mereka selalu mengaitkan kegiatan alam dengan kehidupan manusia dengan melihat dan mengikuti petunjuk alam. Parhalaan (Perbintangan), Pane Na Bolon (Makroskos) serta Desa Na Ualu (arah mata angin). Mereka juga memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Raja-Raja Bius.

Bius adalah struktur wilayah dari sistem pemerintahan Harajaon Batak yang mempunyai wilayah dan mempunyai rakyat serta pemerintahan sendiri. Pusat kegiatan Bius disebut Parbiusan dan menjadi tempat persidangan Raja-Raja Bius. Mereka adalah pemilik tuho dari rumpun keluarga mereka sesuai dengan hikmat kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran atau Partubu.

Apa yang menjadi keputusan Raja-Raja Bius adalah sah dan mutlak keputusan rumpun keluarga yang diwakilinya.

Raja-Raja Bius memilih Raja Na Opat yang membantunya dalam keahliannya masing-masing, yaitu :
1. Raja Parmalin, yang berfungsi merencanakan dan menata organisasi bidang kepercayaan rakyat Bius (Religi)
2. Raja Adat, yang berfungsi merencanakan dan menata mengenai umum (hukum) dan Paradaton (adat)
3. Raja Parbaringin, yang berfungsi merencanakan dan menata bidang sosial politik dan keamanan Bius.
4. Raja Bondar, yang berfungsi merencanakan dan menata perekonomian.

Pimpinan Bius yang disebut Ulu Bius dipilih oleh Raja-raja Bius. Ulu Bius pada mulanya disebut Ihutan karena fungsinya sama dengan Primus Interpares yang dituakan sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi Raja Adat, pimpinan Ugamo dan pemimpin pemerintahan. Raja Raja Bius dari sudut keberadaannya adalah berasal dari raja Joilo marga dan dapat diwakili oleh Anak Sibulang-bulangan marga itu sendiri. Raja-raja bisu ituadalah wakil dari Horja. Kembali pada peran Raja Na Opat, setiap rencana dari raja Na Opat disampaikan kepada Raja-raja Bius, dan apabila rencana tersebut telah mendapat persetujuan dari raja-raja Bius maka akan diteruskan kepada ihutan untuk direstui, lalu diumumkan melalui ulubalang juga dan dilaksanakan oleh Raja Na Opat Bius. Kedudukan Ihutan adalah untuk mengayomi program-program tadi.

Sebagai pelaksana dilapangan disebut sebagai Parhobas dengan sebutan raja dan pande. Seperti Raja Bondar yang mengurusi tali air, Raja Parhata yang bertugas memberi penjelasan kepada masyarakat, Pande Bosi atau pandai Besi atau Pande Ruma yang mempunyai keahlian dalam bidang membangun rumah.

Yang mengangkut hukum, baik hukum yang menyangkut Perdata maupun yang menangkut Pidana termasuk adat adalah ditangan raja-raja Bius pemilik Tuho, setelah mendengar : Panimbangi atau ihutan. Dalam hal ini Panimbangi juga berasal dari marga-marga tanah yang ahli akan masalah itu, atau hali dalam masalah-masalah tertentu. Kuasa untuk menyetujui dan untuk melaksanakan suatu ketetapan berada ditangan Raja-raja Bius. Walaupun demikian bukan berarti bahwa ihutan tidak memegang peranan. Ihutan pun mempunyai peranan untuk itu karena dipandang sebagai pemilik hikmat dan kebijaksanaan karena kedudukannya.

Raja Bius juga menentukan semacam pajak bagi masyarakatnya. Sedangkan untuk ihutan akan tetap mendapat Upa Raja yang besarnya berdasarkan keiklasan. Semacam pajak atau gugu oleh masyarakat Bius tersebut akan dipergunakan untuk balas jasa parhobas untuk membiayai setiap kegiatan yang sifatnya bersama.

Keunikan sistem pemerintahan tradisional ini terlihat dengan digambarkannya Ihutansebagai pemimpin pemerintahan, pemimpin Ugamo dan pemimpin adat, padahal kekuatan utama berada ditangan raja-raja Bius, baik sebagai wakil rakyat maupun untuk menyelenggarakan pemerintahan berada ditangan uluan. Dan hal inilah yang memungkinkan maka wilayah Raja Maropat, wilayah Harajaon dan kuasa pemerintah sulit dituliskan berdasarkan ketentuan bagaimana sebenarnya Hukum-Hukum Tata Negara.

Cita-cita sistem pemerintahan Harajaon Batak adalah untuak membentuk Raja Mar Opat, Bius, Horja, umban dan Huta menjadi wilayah pemerintaan. Tetapi hal tersebut tidak dapat terwujud . yang dapat terwujud hanyalah membuat raja mar Opat itu menjadi wilayah musyawarah dari wakil-wakil Bius. Yang dapat terwujud sebagai wilayah daerah pemerintahan Harajaon batak baru pada tahap Bius, Horja, Lumban dan Huta.

Secara umum sistem pemerintahan tradisional Batak ini lebih banyak dilihat dari sudut kejiwaan yang berhikmat. Hukum lahir memang kuat tetapi ikatan yang paling mendasar adalah dari segi kerohanian yang dianggap spiritual.
---Selesai---
Selanjutnya