Breaking News

Ke Bakkara: Ziarah


Oleh: AHMAD ARIF
Langit ungu di atas pucuk pinus arah perbukitan Dolok Sanggul, sungguh memesona. Lembah Bakkara yang membentang, tak kalah cantiknya. Tetapi, jalan sempit menurun yang terjal dengan kelokan tajam, membuat saya memilih menatap lurus ke depan.

Hari mulai gelap ketika saya memasuki kampung halaman Sisingamangaraja I-XII di Bius (bahasa Batak artinya desa) Bakkara, sekitar 280 km dari Medan. Dalam remang, susah menemukan tanda bahwa bius yang didirikan enam marga (garis keturunan dari lelaki) yaitu Sinambela, Manullang, Purba, Simamora, dan Sihite, itu pernah jadi benteng terakhir Sisingamangaraja XII. Padahal, ketika Belanda menguasainya tahun 1883, Bakkara telah berdiri sebagai bius selama 15 generasi atau telah berdiri sejak abad ke-14.

Kedai kopi di Bakkara sore itu dipenuhi pengunjung yang semuanya lelaki. Suara televisi yang direlai parabola berseling obrolan dalam permaian kartu. Tak ada penginapan di sana, tetapi warga menawarkan menginap di rumah mereka. Saya memilih terus ke arah Muara, mencari tempat terbaik untuk melihat Danau Toba saat terbitnya Matahari, esok pagi. Rumah-rumah berdiri dalam jarak berjauhan.

Gemericik air terdengar di sebuah kelokan, saya berhenti di sana. Ternyata, air terjun itu adalah Aek Sipangolu yang berarti air yang menghidupkan. Air ini dipercaya berasal dari bekas tapak kaki gajah Sisingamangaraja. Malam pekat. Api unggun yang saya buat jadi penerang.
Pukul 21.15, datang mobil berpenumpang delapan orang, separuhnya perempuan. Mereka mengaku dari Medan. Sebagian lalu mengambil air dan lainnya mandi di pancuran. ”Air ini untuk kesembuhan,” kata lelaki paruh baya.

Orang-orang yang datang dalam gelap itu pun belalu ke arah Muara. Saya beranjak dan memutuskan istirahat di pinggir jalan di tepi danau, sekitar dua kilometer dari Aek Sipangolu.
Jauh dari arah bukit, kebakaran hutan menimbulkan bunga api. Tiap tahun, perbukitan di tangkapan air Danau Toba itu terbakar. Dinas Kehutanan Sumut mencatat, tahun 2004 kebakaran hutan di area itu mencapai 410,5 hektar.

Dari arah danau sesekali terdengar deru mesin perahu nelayan. Di apit bukit terjal dan danau dengan langit penuh bintang, saya membayangkan malam-malam sepi Sisingamangaraja XII bersama seluruh keluarganya selama 30 tahun bergerilya melawan Belanda.

Di celah bukit yang kini sebagian dilalap api itulah para pejuang Batak dibantu beberapa panglima asal Aceh melawan Belanda. ”Selama 14 hari, patroli mencari kembali jejak Sisingamangaraja ke seluruh penjuru, namun tak berhasil. Pegunungan dengan pepohonan dan semak rimbun, membuat usaha menyingkirkan diri mudah,” tulisan Letnan J H van Temmen, anak buah Kapten Christoffel, pemimpin pasukan Belanda yang memburu Sisingamangaraja XII.

Pikiran terus berkecamuk, tetapi akhirnya saya terlelap juga. Embun pagi membangunkan saya sekitar pukul 06.00. Udara dingin, tetapi warna jingga langit dan hilir mudik perahu nelayan, menawarkan pesona yang sayang jika dilewatkan.
Lalu saya kembali ke arah Bakkara dan berhenti di air terjun Aek Sipangolu yang semalam tak terlihat jelas. Setelah mandi di air terjun, saya mencari sisa peninggalan sang pahlawan di Bakkara.

”Ahu” Sisingamangaraja

Ziarah di Bakkara dimulai dari Sulu-sulu. Suasana gua sempit di atas bukit yang dikelilingi hamparan sawah sungguh menghanyutkan. Gemericik air sungai berbaur dengan gemerisik dedaunan. Bekas dupa dan rokok untuk persembahan tergelatak di lantai gua. Konon, gua yang dikeliling pepohonan beringin ini dulu digunakan Sisingamangaraja XII menggembleng diri.

Kemudian saya ke Lumban Raja, kediaman sang raja. Sayang tak ada lagi sisa benteng sebagaimana digambarkan Modigliani, peziarah dari Roma yang mengunjungi Bakkara tahun 1900, atau tujuh tahun setelah penyerangan Belanda. Dikisahkannya, saat itu masih dijumpai tembok keliling tinggi tersusun dari batu-batu besar.

Yang terlihat siang itu hanya pintu batu kecil yang dinaungi atap runcing relatif baru. Jajaran bukit batu yang menjulang menjadi pembatas dari sisi lain.

Bangunan batu persis di bagian tengah bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII. Untuk menyandang gelar Sisingamangaraja, sang pewaris haruslah mampu mencabut pedang ini dari wadahnya.

Marujinta Sidiani Sinambela, cucu Sisingamangaraja XII yang tinggal di desa itu mengatakan, bangunan berhias bendera perang itu adalah makam Sisingamangaraja XI. Sedangkan bangunan batu yang lebih sederhana di sebelahnya adalah makam Sisingamangaraja X. Makam raja-raja yang lain tak diketahui persis keberadaannya. Makam Sisingamangaraja XII juga diperdebatkan. Sebagian menilai makam sang raja ada di Soposurung, Balige.

Dari Bakkara saya menuju Muara, lalu ke lembah Silindung, lalu mendaki ke Siborong-borong. Rute ini menentang arah Belanda mengejar Sisingamangaraja XII. Walau sudah beraspal, tetapi jalan berliku dan mendaki menimbulkan ngeri, terbayang lembah menjadi benteng pertahanan tangguh.

Hujan deras mengguyur ketika saya menuju Balige, tanah yang pernah memerah oleh darah sang raja yang ditembus peluru Hamisi, marsose Belanda asal Ambon. Kematian tragis sang pahlawan yang selalu meneriakkan agar sesama ”mata hitam” bersatu padu melawan sang penjajah yang disimbolkan dengan ”mata putih”.

”Ahu Sisingamangaraja,” kalimat sang pahlawan kepada Harmisi sebelum mengembuskan napas terakhir terngiang dalam perjalanan menuju Medan.
Selanjutnya