Breaking News

Batak Gayo

Jika dirunut jauh ke masa lalu, suku Gayo yang tersebar di pegunungan di jantung Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) satu keturunan dengan suku Batak Karo di Sumatera Utara

DAHULU kala, Raja Linge memiliki dua putra bernama Sengeda dan Bener Meriah. Keduanya kemudian dinobatkan menjadi raja untuk wilayah yang berbeda. Sengeda menjadi penguasa sebagian daerah yang sekarang ada di Aceh Tengah, sedangkan Bener Meriah diangkat menjadi raja di wilayah yang akhir Januari 2004 diresmikan menjadi Kabupaten Bener Meriah.

SEPERTI daerah sekelilingnya, suku Gayo menjadi penghuni mayoritas. Jika dirunut jauh ke masa lalu, suku Gayo yang tersebar di pegunungan di jantung Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) satu keturunan dengan suku Batak Karo di Sumatera Utara. Berbeda dengan masyarakat di pesisir atau "Aceh Pesisir" yang merupakan hasil percampuran antara pendatang dari berbagai penjuru dunia, misalnya Arab, India, dan Eropa, tak heran jika bahasa Gayo lebih mirip dengan suku Batak Karo.

Suku Gayo terkenal ulung dalam hal pertanian dan suku Gayo di Bener Meriah masyhur dalam mengembangkan kopi arabika. Uniknya, kopi berorientasi ekspor ini dikenal sebagai kopi organik alias tak menggunakan pupuk kimia. Kopi yang sering disebut Gayo mountain organic coffee ini tak sengaja dibudidayakan secara organik. Ternyata warga sejak dahulu tak biasa memberi pupuk kimia pada tanaman kopi. Alasannya, ongkos produksi yang dikeluarkan lebih mahal bila menggunakan pupuk kimia.

Setelah dipanen, harga kopi berlabel organik bisa lebih tinggi dibandingkan dengan kopi yang menggunakan pupuk kimia. Selisihnya 10 persen lebih mahal. Saat ini harga biji kopi organik dari petani berkisar Rp 14.000 hingga Rp 15.500 per kilogram. Kopi unggulan Gayo ini umumnya dikumpulkan oleh tiga eksportir di Kecamatan Bandar kemudian dijual ke luar negeri, antara lain Amerika, Belanda, dan Jepang.

Hampir di semua kecamatan, tumbuhan kopi bisa ditemui dengan mudah. Bukan kebun kopi yang diusahakan oleh perusahaan besar, melainkan hamparan kebun milik penduduk yang dikerjakan sendiri oleh keluarga mereka. Menurut Sensus Penduduk 2000, sekitar 60 persen penduduk berkutat dengan usaha perkebunan kopi. Sewaktu masih bergabung dengan Kabupaten Aceh Tengah, sekitar 70 persen kopi di kabupaten induk dihasilkan Bener Meriah. Luas kebun yang ditanami kopi hampir separuh dari luas total perkebunan di Aceh Tengah. Tentunya, Aceh Tengah kehilangan cukup banyak produksi kopi dengan pembentukan kabupaten baru.

Di antara tujuh kecamatan di Bener Meriah, daerah selatan menghasilkan lebih banyak kopi, yaitu Kecamatan Bandar, Bukit, dan Timang Gajah. Letak ketiga kecamatan lebih tinggi ketimbang wilayah utara. Bandingkan saja, bagian utara berada di ketinggian 300 meter hingga 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl), ada pula yang 100 meter dpl. Di bagian selatan, penghasil kopi andalan, Timang Gajah, di ketinggian 600 hingga 1.000 meter dpl, Bukit dan Bandar di ketinggian lebih dari 1.000 meter dpl.

Meski demikian, daerah-daerah yang tak terlalu tinggi tetap punya kekuatan lain. Bagian barat laut pada ketinggian 300 hingga 1.000 meter dpl menyimpan potensi pengembangan tanaman-tanaman selain kopi. Kecamatan Pintu Rime Gayo ini cocok sebagai tempat budidaya kelapa, kakao, dan pinang.

Kecamatan Syiah Utama di sebelah timur memiliki potensi pengembangan lebih besar. Dibandingkan dengan yang lain, Kecamatan Syiah Utama lebih luas. Lahan yang potensial pun masih membentang menunggu dimanfaatkan. Menurut pemerintah kabupaten, 16.000 hektar tanah kosong landai siap untuk usaha perkebunan. Komoditas yang diperkirakan cocok untuk lahan itu, antara lain kelapa sawit dan kakao.

Sayang, dengan konflik yang sedang berlangsung, perekonomian Bener Meriah terasa lebih lambat berputar. Daerah yang berdekatan dengan hutan jadi lebih rawan. Padahal, sekitar 40 persen wilayah kabupaten baru ini berupa hutan, terutama di daerah yang jauh dari pusat kota, seperti Kecamatan Timang Gajah, Pintu Rime Gayo, Permata, dan Syiah Utama.

Banyak kebun kopi di pinggiran ditelantarkan karena khawatir keselamatan penduduk terganggu. Penduduk pinggiran banyak yang memilih pindah ke tempat-tempat yang padat penduduknya dengan alasan keselamatan. Pusat kota bertambah ramai dengan tambahan pengungsi yang tinggal dengan sanak saudara maupun mendirikan bangunan baru.

Warga, terutama yang memiliki kebun kopi jauh di pinggiran kabupaten, mengalihkan perhatian ke budidaya hortikultura sementara waktu. Sayur- mayur, seperti kubis, kol, tomat, wortel, dan cabe, ditanam di pekarangan, lahan kosong, atau areal kecil sawah tadah hujan yang dipanen sekali setahun.

Jika dibandingkan, penghasilan dari hortikultura lebih kecil dibandingkan dengan panenan kopi. Penjualan sayur- mayur hanya cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Biaya sekolah anak dan lain-lain tak bisa dipenuhi. Bagaimanapun juga kopi adalah denyut nadi ekonomi penduduk Bener Meriah. Saat harga kopi tinggi, seluruh penduduk bersyukur. Ketika produksi kopi turun, tak ada lagi uang untuk sekolah.

Dari perkiraan Dinas Pertanian Kabupaten Bener Meriah, sekitar 10.000 hektar kebun kopi yang diabaikan, sebagian besar di Kecamatan Syiah Utama. Ini sebanding dengan 27 persen kebun kopi di kabupaten seluas 37.000 hektar.

Apabila luasan kebun kopi yang tak diurus itu coba dikalkulasi, dihitung produksi yang melayang akibat gangguan, hasilnya mencengangkan. Kerugian yang terhitung amat besar. Sekitar 10.000 hektar diperkirakan menghasilkan 10.000 ton per tahun. Bila harga, misalnya Rp 10.000 per kilogram, berarti kerugian mencapai Rp 100 miliar per tahun!

Menurunnya produksi kopi juga akan berdampak pada industri yang bergantung pada suplai kopi. Bagaimana nasib 30 industri pengupasan kopi dengan 120 tenaga kerja dan tiga industri bubuk kopi dengan 11 tenaga kerja bila makin banyak kebun kopi telantar?

Saat kondisi keamanan stabil nanti, pemkab yang belum satu tahun usianya akan mendudukkan perkebunan sebagai prioritas utama pembangunan.

Prasarana pendukung transportasi menjadi sasaran kedua. Jalan yang rusak di mana-mana menghambat pergerakan dari satu kecamatan ke kecamatan lain. Diperkirakan, 50 persen jalan di Kabupaten Bener Meriah dalam kondisi rusak, termasuk di daerah timur, Kecamatan Syiah Utama, yang jauh terisolasi. Akses sangat terbatas: hanya ada jalan perkerasan, tak ada jalan aspal. Juga tak ada jalan yang menghubungkan daerah itu dengan Kabupaten Aceh Timur, tetangga Syiah Utama. Memang dulu pernah ada jalan setapak yang menghubungkan Syiah Utama ke Aceh Timur, hanya saja kondisinya tak terawat dan kemungkinan besar tertutup semak belukar.

----Selesai----

Selanjutnya