Breaking News

Dukung Moratorium Pemekaran!!

Saya Mencium Aroma Itu


Oleh PEPIH NUGRAHA

Sudah sering diungkap, pemekaran daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sering berbau kolusi antara tiga pilar elite lokal: elite politik, elite birokrasi, dan elite pengusaha. Elite politik lokal yang bernaung di bawah bendera partai berkepentingan menduduki pos legislatif di daerah pemekaran baru.

Elite birokrasi yang sebelumnya tidak mendapat apa-apa, mengincar jabatan kepala dinas atau bahkan bupati/wali kota. Sedangkan para pengusaha berharap mendapat proyek dari pembangunan infrastruktur di ibu kota daerah yang dimekarkan tersebut.


Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf mengakui adanya kolaborasi antara tiga elite lokal tersebut mengingat polanya yang hampir sama. "Saya mencium aroma itu, apalagi aroma itu sering tercium seusai pemilihan kepala daerah. Pihak yang kalah mendorong pembentukan wilayah baru," katanya.

Berikut petikan wawancara Moh Ma’ruf yang kami temui di ruang kerjanya, Kamis (8/3) lalu:

Pemekaran daerah tampaknya tidak cukup terkawal?

Secara struktural mestinya terkawal. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, Mendagri sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Pengertiannya termasuk daerah-daerah yang sudah dimekarkan. Sedangkan pembinaan dan pengawasan dilakukan gubernur sebagai representasi pemerintah. Gubernur pun memantau, mengawasi, dan membina ini semua. Tetapi, yang paling depan adalah bupati/wali kota. Mekanisme ini yang akan kita tingkatkan efektivitasnya.

Terhadap daerah yang dimekarkan tetapi di kemudian hari tidak sesuai harapan, apa langkah yang diambil pemerintah?

Memang, undang-undang memberi peluang, jika dalam rentang waktu sepuluh tahun daerah yang dimekarkan mengalami penurunan dan tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, undang-undang memberi peluang agar daerah yang dimekarkan itu digabungkan kembali dengan daerah induknya. Tetapi, itu dalam undang-undang, dalam implementasinya tidak semudah itu.

Sudah adakah daerah pemekaran yang digabungkan kembali dengan daerah induknya?

Belum karena waktunya juga belum sepuluh tahun. Kami terus evaluasi. Kami tidak ingin evaluasi yang kita lakukan tidak pada koridor hukum, semua faktor kami pertimbangkan dengan jernih. Tidak mudah menggabungkan kembali daerah karena sudah menyangkut struktur pemerintah dan fasilitas. Maka, kita coba alternatif yang lain, misalnya melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Selama periode 1999-2004 terdapat 148 daerah yang dimekarkan. Sekarang ada 17 lagi daerah yang dimekarkan. Mengapa jumlahnya begitu senjang?

Terhadap 148 daerah yang telah dimekarkan, kami segera adakan evaluasi. Banyak hal yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Misalnya, lebih dari 90 persen peralatan, personel, pembinaan, dan dokumen (P3D) belum diserahterimakan, apalagi kewajiban daerah induk. Daerah baru itu ibarat manusia yang baru lahir, selama sekian tahun masih diberi bantuan oleh daerah induk. Biasanya komitmen sebelum dan setelah pemekaran sering tidak konsisten. Mestinya seberapa kemampuan daerah induk mampu memberikan bantuan dan selama berapa tahun itu ada dalam undang-undang.

Tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan ’moratorium’ terhadap pemekaran daerah. Apa yang dilakukan Departemen Dalam Negeri?

Memang ada aspirasi seperti itu. Kami sedang pelajari dengan cermat mengenai kemungkinan-kemungkinan moratorium karena, pertama, saya ingin menyelesaikan secara tuntas evaluasi itu. Kedua, salah satu landasan upaya pemekaran daerah itu melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000. Jadi, PP ini mau tidak mau harus disempurnakan. Alasannya antara lain, karena PP ini tadinya berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang-undang ini sendiri sudah diganti dengan UU No 32/2004. Tentu kami harus menyesuaikan. Input yang lain adalah hasil evaluasi. Jadi kami tidak asal moratorium. Ada alasan akademik, juga alasan substansialnya.

Benarkah selama moratorium proses pemekaran wilayah dihentikan?

Kami sudah menerima dari DPR sebanyak 16 (rancangan undang-undang) yang pembahasannya baru pada tingkat awal. Terhadap ini kami paham ada aspirasi. Tetapi, saya juga harus mencermati pengalaman yang sudah dan bagaimana daerah yang akan dimekarkan; apakah betul aspiratif, apakah betul punya potensi yang bisa dikembangkan bahwa ke depan akan lebih baik. Salah satu contoh adalah Kabupaten Karimun, yang bupatinya memprioritaskan pembangunan fasilitas kantor untuk melayani publik. Rumah sakit dan prasarana jalan dibangun. Isolasi dibuka. Masyarakat di kabupaten itu juga gratis kalau berobat. Di sini bupati dan aparaturnya bisa ambeg parama artha, mendahulukan mana yang diprioritaskan, yakni bangunan untuk pelayanan publik.

Presiden menyatakan moratorium, tetapi juga mengeluarkan amanat presiden (ampres) agar Mendagri mendampingi 16 kabupaten induk yang akan dimekarkan?

Terhadap 16 daerah ini kami menemui kendala dari segi prosedur hukum. Saya sudah terima ampres, tim dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) sudah turun ke lapangan. Tetapi, tidak cukup satu kali. Kami mendapat input apakah ke-16 wilayah ini layak dimekarkan atau tidak. Pada tahap awal kami dengarkan apa tanggapan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masih ada tiga pandangan yang nanti harus mengkristal, mana yang kami loloskan, kami tunda, atau malah tidak bisa dimekarkan.

Dari kajian Depdagri, mana dari ke-16 daerah itu yang layak dimekarkan?

Saya belum bisa eksak mengatakannya karena belum final. Kami masih harus mendengarkan pandangan-pandangan dari berbagai pihak.

Benarkah ampres yang ini tidak ditandatangani oleh Presiden?

Namanya juga ampres, jelas dari Presiden. Mungkin ada baiknya kita kembangkan bersama apakah hal-hal yang berkaitan dengan pemekaran tidak lebih baik inisiatif pemerintah. Ini karena kami tahu di lapangan, kami paling tahu apakah aparatur daerahnya siap atau tidak. Kami sendiri paling siap mendengarkan tanggapan dari daerah induk, belum lagi dari aspek budayanya.

Lantas, mengapa usul inisiatif pembentukan wilayah baru justru ada pada DPR?

Saya tidak tahu, ini prosedur hukum yang lalu. Yang jelas sekarang sudah 2007, kita sibuk lagi menghadapi kegiatan pemilu. Kalau pemekaran tidak dihentikan, tidak ada moratorium, ini akan menyulitkan penyelenggaraan pemilu yang akan datang. Paling tidak sulit menentukan daerah pemilihan, apalagi lima tahun itu ternyata sebentar untuk menata fasilitas pemerintahan. Belum lagi ada undang-undang yang belum jelas, yang menyebutkan adanya "ibu kota sementara". Ini ternyata menjadi potensi konflik, potensi instabilitas, dan batas wilayah yang tidak jelas.

Apakah ke-17 daerah baru yang telah dimekarkan selama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah siap menghadapi Pemilu 2009 nanti?

Kami harapkan demikian. Yang saya khawatirkan justru yang sekarang masih dibahas sebab waktunya ke pemilu tinggal beberapa tahun lagi.

Jadi moratorium diperlukan sebelum penyelenggaraan pemilu?

Cukup beralasan menurut kacamata pemerintah. Mengapa, sebab kami juga mengantisipasi apakah daerah-daerah siap menghadapi pemilu. Saat pejabat pemerintah sudah ada di situ, bagaimana DPRD-DPRD-nya? Jika DPRD tidak dibentuk, pilkada tidak ada di situ. Wong entry point untuk pelaksanaan pilkada kan DPRD. KPUD juga harus dibentuk. Artinya, implikasi ikutannya banyak. Kami sedang menyiapkan landasan hukum dan politik untuk moratorium itu, juga landasan operasionalnya. Kami harus punya fokus menghadapi Pemilu 2009.

Sumber: Kompas 10 Maret 2007