Akal-akalan Pemekaran
Banyak cara elite lokal mengolah emosi massa untuk menciptakan kesadaran kolektif bahwa seolah-olah memekarkan daerah wajib hukumnya. Kesadaran kolektif ini dibentuk, seperti saat pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, dengan cara apel akbar di sebuah lapangan. Massa yang hadir pun diklaim ribuan dengan kebulatan tekad dari berbagai unsur masyarakat agar daerahnya segera berpisah dari provinsi induk, dalam hal ini Sulawesi Selatan.
Oleh PEPIH NUGRAHA
Tahun 2000 lalu di DPR terjadi "keributan" kecil seusai panitia khusus pembentukan sebuah provinsi baru mengegolkan lahirnya provinsi baru. Di sudut sebuah ruangan, sejumlah orang berebut bungkusan. Isi bungkusan kertas payung itu ternyata segepok uang pecahan Rp 20.000 yang dilemparkan anggota panitia persiapan pemekaran. Inilah pangkal "keributan" itu.
Ini belum seberapa. Saat paripurna mengumumkan pembentukan provinsi baru, ruang sidang utama, dari balkon hingga lobi, membahana teriakan massa yang mengenakan pakaian daerah. Musik tradisional ditabuh, para tokoh masyarakat dan agama memanjatkan puji syukur, mahasiswa membacakan puisi sambil menyebar pernyataan sikap.
Beberapa elite politik lokal yang menjadi motivator terbentuknya provinsi baru tampak dielu-elukan massa, diusung bak pahlawan yang kembali dari medan juang. Uang begitu mudah ditebar dan disebar dalam histeria massa seperti ini.
Ibarat pintu gerbang yang tertutup rapat namun akhirnya jebol juga, hasrat daerah memekarkan diri menjadi tidak terbendung setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lahir. Dulu anak-anak SD hafal jumlah provinsi di Indonesia 27 dengan sekitar 330 kabupaten/kota. Sekarang seusai lepasnya Timor Timur, jumlah provinsi membengkak menjadi menjadi 33 dengan jumlah kabupaten/kota mendekati angka 500.
Menurut catatan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), sejak kurun waktu 1999 hingga 2004 telah terbentuk 148 daerah pemekaran baru dengan rincian 8 provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota. Seperti diakui Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi ruang yang sangat leluasa bagi daerah untuk memekarkan diri. Hasrat daerah memekarkan diri seperti tidak terbendung semasa Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri berada di tampuk kuasa negeri ini.
Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin, hasrat daerah memekarkan diri mampu dikendalikan. Tercatat hanya 17 kabupaten/kota baru yang lahir. Ini karena adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya, yang mengatur lebih ketat soal pemekaran. Ditambah dengan pidato Presiden di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Agustus 2005 lalu yang mengindikasikan keinginan moratorium pemekaran daerah, nasib 16 kabupaten/kota yang menunggu dimekarkan pun kini menjadi tanda tanya, apalagi saat harus menghadapi hajatan akbar Pemilu 2009.
Wakil Ketua DPD Laode Ida mengungkapkan, di meja kerjanya kini sudah menunggu sekitar 70 daerah yang ingin dimekarkan, antara lain pemekaran provinsi Kalimantan Utara, Sulawesi Timur, Tapanuli Selatan, dan Papua Barat Daya. Ia menilai terlalu mudahnya peraturan dan perundang-undangan ditembus, memungkinkan dengan mudahnya daerah dimekarkan. Mudahnya dua pintu gerbang dibobol, yakni oknum di Depdagri dan oknum di Komisi II DPR, memungkinkan sebuah rancangan undang-undang pembentukan wilayah baru dibuat.
Menurut Laode Ida, para elite politik lokal, birokrat lokal, dan pengusaha lokal memainkan peranan penting dalam terbentuknya daerah pemekaran. Mendagri Moh Ma’ruf bahkan tidak menyangkal kemungkinan bermainnya tiga pilar elite lokal ini dalam mendorong pemekaran wilayah, khususnya pascapemilihan kepala daerah. Umumnya, calon yang kalah berupaya menggalang massa untuk mendirikan wilayah baru agar ia bisa menjadi bupati/wali kota di daerah yang dimekarkan itu.
Provokasi massa
Banyak cara elite lokal mengolah emosi massa untuk menciptakan kesadaran kolektif bahwa seolah-olah memekarkan daerah wajib hukumnya. Kesadaran kolektif ini dibentuk, seperti saat pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, dengan cara apel akbar di sebuah lapangan. Massa yang hadir pun diklaim ribuan dengan kebulatan tekad dari berbagai unsur masyarakat agar daerahnya segera berpisah dari provinsi induk, dalam hal ini Sulawesi Selatan.
Untuk mengumpulkan massa sebanyak itu perlu penggerak. Dana juga harus digali untuk mewujudkan semua impian. Panitia pembentukan pemekaran dibentuk, dengan anggotanya tidak lain dari mereka yang kelak duduk di pemerintahan dan legislatif. Gubernur daerah induk yang semula keberatan daerahnya dimekarkan, akhirnya harus mengalah karena tekanan opini publik yang masif.
"Bila pada awalnya tidak mendapat respons masyarakat secara luas, tetapi lama-lama mengkristal sehingga terbangun emosi kolektif. Masyarakat tidak tahu apakah daerahnya mau mekar atau tidak, yang penting kehidupannya lancar dan baik. Emosi ini dimainkan para elite lokal. Umumnya setelah mendekati proses akhir terbentuknya daerah pemekaran, emosi kolektif mencapai puncaknya. Siapa yang menolak, akan berhadapan dengan massa yang menghendaki pemekaran," papar Laode Ida.
Menurut anggota Komisi II DPR Ryaas Rasyid, apel akbar itu tidak ada dalam aturan dan perundang-undangan mana pun dan hanya akal-akalan atau rekayasa elite politik serta birokrat lokal untuk mengolah emosi massa. Bahkan, kata pendiri Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan ini, makalah pesanan pun dibuat dengan mengerahkan potensi perguruan tinggi lokal. Massa kemudian datang ke Komisi II DPR dan ke Depdagri. Tidak ada satu pun yang diteliti secara khusus dan menyeluruh apakah suatu wilayah layak dijadikan daerah pemekaran baru.
"Itu semua rekayasa dan tidak ada aturannya. Elite-elite politik menggeliat, didukung partai-partai politik yang semuanya punya kepentingan," katanya.
Ryaas setuju dengan langkah Presiden melakukan moratorium pemekaran daerah, misalnya dalam rentang tiga atau lima tahun ke depan tidak ada pemekaran dulu. Namun menurut dia, moratorium itu harus ditindaklanjuti dengan hal-hal yang lebih konkret, misalnya Presiden memanggil seluruh kepala daerah, khususnya gubernur dan memberi tahu bahwa tidak ada lagi pemekaran selama moratorium berlangsung. Bahkan Ryaas setuju Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merevisi undang-undang sebelumnya, segera direvisi agar persyaratan pemekaran daerah dilakukan lebih ketat lagi.
Banyak orang tidak memahami otonomi daerah. Otonomi daerah diselewengkan seolah-olah bagian dari pemekaran wilayah. Padahal, otonomi itu bukan pemekaran. "Otonomi itu mendekatkan pelayanan pada masyarakat, memberdayakan masyarakat sehingga mereka mampu menyelesaikan persoalan sendiri dan menghasilkan kebijakan kesejahteraan rakyat yang memihak kepada mereka. Kalau pelayanan dekat, tetapi kesejahteraan menurun, ini kan percuma saja," kata Ryaas.
Lembaga bayaran
Bagi peneliti ekonomi politik dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat, daerah pemekaran di Indonesia sebagian besar dibentuk berdasarkan kriteria yang tidak realistis. Lobi dan jaringan politik yang kuat membuat daerah yang sebenarnya tidak layak dimekarkan akhirnya bisa menjadi daerah otonom baru. "Saya menamakannya daerah itu dimekarkan berdasarkan kriteria pernyataan, bukan kriteria kenyataan," katanya.
Sebagian besar daerah pemekaran dibentuk atas usul sekelompok elite politik daerah, bukan atas usul masyarakat. Kelompok elite ini umumnya adalah pejabat yang ingin kembali berperan dalam panggung politik. Mereka sempat masuk dalam lingkaran kekuasaan pada masa lampau sebelum disingkirkan pada era reformasi.
Dengan jaringan politik yang terbentuk hingga ke pusat, elite politik di daerah dengan leluasa mengamankan jalan. Sejak awal, daerah pemekaran yang mereka usung memang seolah memenuhi kriteria yang disyaratkan pemerintah. Namun, ternyata, itu hanyalah retorika.
Untuk memenuhi peryaratan studi kelayakan, misalnya, sekelompok elite politik berduit ini membentuk lembaga independen bayaran. Lembaga independen bentukan itulah yang lalu melakukan studi kelayakan. Padahal, studi kelayakan seharusnya dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) atau kini dilakukan oleh DPD. "Kenyataannya DPOD mengeluh karena mereka seperti macan tak bergigi," ujarnya.
Lobi terus berlangsung hingga ke tingkat DPR dan Depdagri, semuanya ada ongkosnya sendiri. Namun, biaya paling besar dikeluarkan saat DPR mengadakan dengar pendapat dengan sekelompok elite yang mengajukan usulan. Idealnya, pemekaran suatu wilayah harus melewati seleksi dan evaluasi yang ketat.
Syarif mencontohkan kawasan Northern Teritory di Australia. Daerah yang termasuk wilayah Sidney ini ingin berdiri sebagai provinsi dengan alasan wilayah yang sangat luas. Kendati masyarakat Northern Teritory mengajukan usul tersebut sejak tahun 1990-an, Pemerintah Australia baru akan menyetujuinya dalam waktu dekat ini.
Kondisi ini, kata Syarif, sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia. Pemekaran wilayah hanya dijadikan sebagai ajang permainan politik jangka pendek dan sarana meraup keuntungan oleh segelintir elite lokal.
Yang Tidak Malu dan Pura-pura Tidak Tahu
Oleh KHAIRINA
Otonomi daerah yang digulirkan sejak tahun 1999 membawa semangat baru bagi daerah. Sesuai undang-undang, pemerintah daerah memiliki wewenang lebih besar untuk mengatur wilayahnya. Daerah yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi yang ditetapkan pemerintah juga boleh menjadi daerah otonom baru, terlepas dari daerah induknya.
Euforia pemekaran pun melanda Indonesia. Daerah otonom baru hasil pemekaran tumbuh bak cendawan di musim hujan. Selama kurun waktu 1999-2007, tercatat 144 kabupaten/kota baru dan delapan provinsi baru. Selain itu, ada 16 kabupaten/kota baru yang sedang diobservasi dan usulan 14 calon daerah otonom baru yang sedang diproses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Banyaknya daerah otonom baru yang dibentuk dalam waktu singkat memunculkan pertanyaan, siapa sesungguhnya yang diuntungkan dengan pemekaran wilayah. Soalnya, di beberapa daerah, pemekaran wilayah justru memunculkan konflik yang sangat besar di masyarakat.
Salah satu contohnya adalah konflik yang terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (Sulteng). Masyarakat Banggai menolak pemindahan ibu kota dari Banggai ke Salakan. Sebelumnya, konflik juga pernah terjadi di Morowali, Sulteng.
Peneliti ekonomi politik dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat berpendapat, konflik yang terjadi di beberapa daerah hanyalah refleksi dari pucuk gunung es. Penyebabnya, sejak awal pemekaran daerah di Indonesia tidak dilakukan dengan hati-hati dan tidak dilakukan berdasarkan studi kelayakan yang benar dan jujur.
"Pertimbangan pemekaran daerah hanya politik praktis," ujar Syarif.
Pemekaran wilayah tidak dilakukan atas tuntutan riil masyarakat, melainkan keinginan segelintir elite politik daerah. Para pejabat itu dulu merupakan bagian dari elite negara sebelum akhirnya tersingkir pada era reformasi.
Dengan hasrat ingin kembali berkuasa, segelintir elite lalu berkonspirasi, mengatasnamakan masyarakat, dan menuntut pemekaran wilayah. Mereka berharap, pemekaran wilayah itu dapat menjadi arena baru untuk terjun ke dunia politik dan sarana meraup keuntungan ekonomi.
Syarif menambahkan, sebagian besar masyarakat justru tidak mengerti soal pemekaran wilayah. Beberapa nelayan di Pandeglang, Banten, misalnya, tidak tahu bahwa sejak enam tahun lalu wilayahnya masuk ke dalam Provinsi Banten, bukan lagi Jawa Barat.
"Soalnya mereka tidak merasakan perbedaan yang signifikan antara setelah dan sebelum pemekaran," ujar Syarif.
Peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI, R Siti Zuhro, berpendapat, pemekaran pemerintahan dijadikan sarana untuk menguasai sumber daya alam oleh segelintir elite. Di beberapa daerah pemekaran, konflik perebutan sumber daya alam masih terjadi.
Untuk mendekati masyarakat agar setuju dengan konsep pemekaran wilayah, para elite mendekati tokoh-tokoh masyarakat. Para tokoh ini lalu diminta ikut menyosialisasikan keinginan pemekaran wilayah itu. Lama-lama, muncullah kekuatan dan kesepakatan di kalangan masyarakat yang menginginkan pemekaran wilayah.
Mereka juga membentuk lembaga independen, termasuk pusat-pusat studi, untuk melakukan studi kelayakan "pesanan" terhadap daerah itu. Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memang mensyaratkan adanya studi kelayakan yang dilakukan oleh lembaga independen, sebelum suatu daerah ditetapkan sebagai daerah otonom baru. Studi kelayakan itu dimanipulasi sehingga seolah-olah daerah itu memang layak dimekarkan.
Upaya para elite politik untuk memuluskan langkahnya tidak sampai di situ. Di tingkat pusat, baik di DPR atau Departemen Dalam Negeri, mereka memanfaatkan jaringan politik dan lobi yang kuat. Oleh karena itu, tidak heran jika daerah yang menjadi daerah otonom baru sebagian besar adalah daerah yang memiliki lobi dan jaringan yang kuat.
Jaringan politik menjadi sangat penting untuk "mengamankan" keadaan. Dengan studi kelayakan yang manipulatif, siapa pun tahu usulan pembentukan daerah otonom itu harusnya tidak diloloskan. Namun, jaringan dan lobi yang kuat membuat para pengambil keputusan pura-pura tidak tahu sehingga akhirnya menyetujui juga usulan pembentukan daerah otonom baru itu.
Biaya yang dikeluarkan para elite politik untuk menggolkan rencananya memang sangat banyak, mencapai miliaran rupiah. Agar masuk dalam agenda, baik di Depdagri maupun DPR, membutuhkan biaya administrasi. Biaya lebih banyak dikeluarkan saat daerah itu akan dimasukkan dalam usul inisiatif DPR.
Rapat dengar pendapat antara pengusul dengan DPR juga membutuhkan biaya. Pengeluaran akan terus membengkak—paling banyak dikeluarkan saat pembentukan panitia khusus—sampai akhirnya lahir undang-undang yang menetapkan daerah tersebut menjadi daerah otonom.
Dengan banyaknya energi dan biaya yang dikeluarkan, tidak heran jika fokus mereka pada awal masa pemerintahannya adalah pengembalian modal. Hampir seluruh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) digunakan untuk pembangunan fisik, seperti pembangunan rumah dinas, kantor pemerintahan, dan lain-lain. Padahal, 70 persen APBD mereka disumbang oleh negara.
Orang-orang yang ditempatkan dalam lingkaran kekuasaan adalah orang-orang dekat sang elite politik. Sedangkan, para pengusaha yang dekat dengan elite politik bersangkutan berperan dalam pembangunan fisik, yang memang membutuhkan anggaran sangat besar.
Oleh karena itu, tidak heran jika di balik gedung-gedung pemerintahan yang menjulang, berderet gubuk-gubuk yang ditinggali masyarakat miskin. Anggaran untuk kesejahteraan mereka memang tersedot untuk para elite politik yang telah "berjasa" memekarkan daerah.
Siti Zuhro berpendapat, pemekaran daerah yang kebablasan antara lain karena belum ada grand design dari pemerintah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 129/2000 tidak cukup komprehensif mengatur pemekaran wilayah tersebut.
Dia menyetujui usul moratorium pemekaran daerah dan berharap pemerintah segera menyelesaikan PP baru yang tengah digodok sebelum menyetujui pembentukan daerah pemekaran baru. "Seharusnya pemekaran wilayah itu tidak menyalahi visi misi awal," katanya.
Sementara itu, menurut Syarif, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang kini perannya tergantikan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semestinya lebih berperan dalam mengawasi pemekaran wilayah. Usul pemekaran tidak lagi lewat Depdagri atau DPR, melainkan langsung lewat DPD. Dengan demikian, diharapkan perilaku pura-pura tidak tahu dari elite politik bisa diminimalkan.
Sumber: Kompas 10 Maret 2007