Breaking News

Bugis dan Peradaban Batak

Batak dan Bugis

Peradaban Batak merupakan peradaban yang terbuka dengan pengaruh dan hubungan kebudayaan dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa Banjar dari Kalimantan diyakini sudah menyatu dengan Bangsa Batak karena Banjar sejak dahulu kala telah menjadi Bangsa pelaut dan maritim yang sampai ke Madagaskar untuk hubungan budaya, ekonomi dan lain sebagainya.

Dalam Tarombo marga Marbun diketahui bahwa, marga Marbun terbagi atas beberapa belahan marga yakni Lumban Batu, Lumban Gaol dan Banjar (Nahor). Ada yang mengatakan bahwa Mukkur juga merupakan bagian dari Marbun, yakni orang Marbun yang berdomisili di Dairi. Kata Banjar diyakini merupakan serapan dari kebudayaan dan keberadaan orang-orang Banjar di pesisir-pesisir Sumatera. Hubungan lainnya adalah dengan Bugis. Hubungan kebudayaan Batak dan Bugis disinyalir telah berlangsung lama dan keduanya saling membentuk hubungan simbiosis satu sama lain.

Masyarakat maritim Batak sudah tidak asing lagi dalam berhubungan dengan bangsa Bugis ini. Bahkan dikabarkan, Datu Na Sangti Si Bagot Ni Pohan, pernah membuat sebuah upaya budaya untuk mengasimilasikan navigator-navigator Bugis yang bermukim sementara di pelabuhan Internasional kuno Natal menjadi bagian dari Adat Dalihan Na Tolu dan memasukkan mereka dalam marga Nasution.

Keberadaan Bangsa Bugis di tanah Batak, tidak saja tercatat di pelabuhan Natal tapi juga di kota-kota maritim lainnya seperti Sibolga, Barus, Tapus dan Singkil. Mereka ini kebanyakan berprofesi sebagai pelaut, navigator, pedagang, musafir dan lain sebagainya.

Simbiosis yang saling menguntungkan tersebut berlangsung dengan waktu yang lama sehingga ada orang Batak, misalnya Lingga, yang mengaku merupakan bagian dari keturunan Bugis. Mungkin saja kedua bangsa ini telah menyatu di berbagai tempat di tanah Batak sehingga sulit untuk membedakan siapa keturunan siapa lagi.

Dalam konstitusi Dinasti Pardosi, penguasa Negeri Barus, dikatakan bahwa sumber dari segala sumber hukum diantaranya adalah Adat Batak, Cheti, Bugis, Islam dan Melayu. Dari sini dapat disimpulkan betapa mengakarnya kebudayaan Bugis ini berkolaborasi dengan peradaban Batak.

Tidak saja dalam periode abad pertengahan, Bangsa Bugis diyakini telah mengenal Bangsa Batak sejak zaman-zaman pra-Sejarah. Beberapa mitologi ketuhanan dan astronomi di kedua peradaban ini sangat mirip dan mempunyai kesamaan. Nama-nama kuno Batak juga banyak yang memakai nama-nama serapan seperti kata Daeng.

Namun, kolaborasi ini bukanlah berarti bahwa satu sama lain superior dengan yang lain, akan tetapi telah terjadi kerjasama budaya yang rekat dengan identitas masing-masing. Artinya kedua peradaban ini masing-masing mempunyai spesifikasi tersendiri yang tidak dapat dibuat persamaannya, seperti misalnya Tulisan, Bahasa dan lain sebagainya.

Selain kerja sama, Bangsa Batak dan Bugis ternyata juga terlibat dalam persaingan atau kompetisi. Kompetisi antara Batak dan Bugis terjadi di berbagai tempat yang menjadi tujuan-tujuan migrasi. Misalnya di wilayah Tanjung Malim, Malaysia. Berikut beberapa wilayah di Singapura atau yang dulunya bernama Temasek dan tentunya berbagai tempat lainnya seperti di Vietnam, Thailand, Serawak dan lain sebagainya.

Selain kompetisi, keduanya juga terlibat dalam kolaborasi di tempat-tempat Migrasi. Raja Lingga XIII yang menjadi pendiri Kerajaan Lingga (Raja Gayo dan Karo yang diutus oleh Sultan Aceh menjadi kabinet di sekutunya Kesultanan Johor) di kepulauan Riau yang mencakup Temasek dan Johor diyakini telah melakukan kolaborasi dengan para navigator-navigator Bugis untuk melawan para perompak dan predator bangsa Barbar seperti Portugis, Spanyol dan Inggris.

Kolaborasi keduanya juga berlanjut dalam hubungan tali perkawinan sehingga sampai sekarang, para raja-raja keturunan Lingga di wilayah tersebut, khususnya Riau, lebih memilih untuk mengaku sebagai keturunan Bugis tapi tetap memakai nama Lingga, yang berjadi salah satu marga Batak.

Kolaborasi masyarakat Maritim Batak dan Bugis ini telah mencapai puncaknya dan menyatu sehingga mendominasi lautan Nusantara kala itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan pertukaran nama-nama di kedua wilayah. Banyak nama-nama Bugis yang dipakai di Tanah Batak dan banyak nama-nama Batak yang dipakai di perairan Sulawesi.

Di masa-sama keemasan itulah diketahui bahwa orang Bugis sampai telah menaklukkan beberapa bagian Australia beberapa abad sebelum sampainya para tahanan Eropa di sana. Komunitas-komunitas Bugis telah menjadi manusia pribumi di Australia khususnya di pantai Australia Utara, mulai dari Kimberley sampai Teluk Carpentaria. Bahkan kekuatan maritim tersebut diyakini telah sampai ke Selandia Baru dan Pasifik dimana kebudayaan-kebudayaannya mempunyai kemiripan dengan Batak dan Bugis seperti apa yang terlihat di Arnhem, Maori dan beberapa komunitas budaya di kepulauan Pasifik.

Apa dan bagaimana sebenarnya orang Bugis tersebut, berikut adalah sebuah tulisan mengenai buku “Manusia Bugis” yang di dapat dari internet. Tulisan ini dimulai dari perbedaan Bugis dan Makassar.
--
--

Meski penutur Bahasa Bugis tinggal berdekatan dan berinteraksi erat dengan penutur Bahasa Makassar, tapi secara linguistik kedua bahasa tersebut adalah dua bahasa yang berbeda.

Sebagian besar penutur Bahasa Bugis tidak paham Bahasa Makassar dan begitu pula sebaliknya. Praktek kehidupan sehari-hail kedua kelompok penutur itupun berbeda. Lebih jauh lagi, dengan mengacu pada kajian seorang linguis R. Mills, Pelras berpendapat bahwa sebenarnya Bahasa Bugis lebih dekat ke Bahasa Toraja daripada ke Bahasa Makassar, meski selama ini dalam kehidupan sehari-hari sering dikatakan Bugis dan Makassar "sama-sama" saja.

Dengan kata lain, Pelras ingin menegaskan, Bugis bukan Makassar dan sebaliknya, dan istilah Bugis-Makassar adalah istilah yang tidak membantu kalau bukan menyesatkan.

Meski buku ini sangat kaya dengan detail yang didasarkan pada hasil kajian berbagai ahli, tapi buku inimemiliki plot yang "sederhana." Dalam plot ini diasumsikan adanya satu entitas/ kelompok masyarakat"Bugis" dan entitas ini memiliki sejarah (artinya ada asal-usulnya) dan mengalami proses evolusinya.

Tidak heran karenanya apabila buku ini dimulai dengan Bagian Pertama yang berisi pembahasan yang sangat lengkap atas masa pra-sejarah Sulawesi Selatan dengan mensitesakan pelbagai kajian arkeologis tidak hanya atas temuan dan artefak di daerah Sulawesi Selatan tapi juga Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Pelras tidak hanya memulai narasinya dari aspek material masyarakat Bugis, tapi juga aspek mental dengan membongkar dan menganalisa epik Galigo. Epik ini dianggapnya mencerminkan kosmologi dan aturan keagamaan masyarakat Bugis pra-Islam.

Bagian Kedua dari buku Manusia Bugis lebih memfokuskan pada apa yang ternyata berubah tidak hanya dari aspek material tapi juga dari aspekmental yang telah disintesakannya tadi.

Dengan sangat mendetil dalam bagian ini Pelras berkisah mengenai bagaimana masyarakat Bugis, utamanya sejak abad ke-19, terserap ke dalam dunia moderen melalui globalisasi dan kolonialisme. Proses penyerapan inilah yang membawa perubahan sosial danspiritual. Patut disukuri bahwa versi Bahasa Indonesia buku Manusia Bugis selain mengalami perbaikan juga memiliki tambahan bagian-bagian baru yang tak ada dalam versi Bahasa Inggris.

Yang paling menonjol adalah penambahan untuk bab 8 dimana ditambahkan bagian-bagian yang sangat substansial mengenai kesusatraan dan seni dalam masyarakat Bugis, serta penambahan satu bagian khusus di bab 10 mengenai "Dinasti Hadji Kalla" untuk menjadi ilustrasi, baik tentang mentalitas dan norma dalam masyarakat Bugis maupun tentang perubahan sosial yang terjadi bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan kolonial dan lahirnya negara-bangsa.

Ada 3 hal besar yang saya anggap bermasalah dari narasi Pelras atas masyarakat Bugis dalam buku ini. Dari ketiga hal tersebut hal besar yang pertama disebabkan oleh terbatasnya kajian tentang Sulawesi Selatan untuk menopang satu buku yang mencoba bersifat komprehensif seperti buku ini. Sedang dua hal besar lainnya muncul akibat cara pandang yang dipilih oleh Pelras sendiri.

Hal pertama adalah terbatasnya paparan Pelras tentang abad ke- 18 dan ke-19. Paparan Pelras tentang masyarakat Bugis diabad-abad ini nampak sumir dan penuh generalisasi. Tentu ini bukan kesalahan Pelras semata. Kajian akademis yang menggunakan arsip sejarah tentang periode ini memang tak banyak dan karenanya dia harus melakukan interpolasi dan generalisasi seperlunya.

Dua hal besar lain yang bermasalah adalah mengenai "Bugis" itu sendiri dan kemudian mengenai hampir absennya politik dan konflik dalam buku ini terutama pada saat membahas periode sejak kemerdekaan. Seperti yang disinggung di atas, buku ini memiliki plot yang sangat sederhana dan dimulai dengan mengasumsikan adanya satu masyarakat "Bugis."

Tetapi siapakah yang bisa disebut sebagai "Manusia Bugis"? Kata "Bugis" sebenarnya menunjuk pada apa? Bahasa? Pelras sudah menarik garis pembatas yang jelas antara Bugis dengan Makassar, Wotu, Toraja, atau lainnya. Tapi "garis" tersebut hanya jelas membedakan mereka yang "bukan" Bugis. Pertanyaannya, bagaimana dengan Pinrang? Enrekang? Atau bahkan Bulukumba? Bisakah istilah "Bugis" digunakan sebagai sebuah istilah ilmiah yang jelas? Dengan menolak istilah "Bugis-Makassar" dan menggunakan istilah "Bugis" bukankah berarti Pelras telah membongkar mitos Bugis-Makassar tapi membentuk mitos baru bernama "Bugis"? Kenapa tidak, seperti kata Pelras sendiri, digunakan istilah yang mengacu pada satuan politik pra-kemerdekaan seperti Bacukiki, Wajo, Gantarang, atau lainnya?

Apalagi bila kita lihat narasi Pelras di Bagian Pertama, sudah jelas bahwa informasi arkeologis yang dipakainya mencakup artefak dan temuan lainnya di daerah yang sekarang tidak dihuni penutur Bahasa Bugis, seperti Pulau Selayar atau Mandar. Masalah ketiga adalah absennya politik dan konflik terutama ketika Pelras berbicara mengenai kondisi kontemporer.

Ada kesan bahwa Pelras--entah karena tidak tertarik-sengaja menghindari pembahasan mengenai konflik dan politik kontemporer. Dia menjelaskan, misalnya, merosotnya peranan bangsawan karena mereka tak lagi relevan di era negara-bangsa. Tapi, seperti didiskusikan secara panjang lebar dalam disertasi Burhan Magenda dan juga Ichlasul Amal, situasinya tak sesederhana itu (kedua disertasi ini tak disebut sama sekali oleh Pelras).

Golkar sebagai satu mesin politik yang begitu mempengaruhipolitik lokal Sulawesi Selatan nyaris tidak disinggung kecuali dalam sub-bagian baru yang membicarakan riwayat politik Jusuf Kalla. Bahkan narasi tentang "Dinasti Haji Kalla" hampir tak menyinggung konflik dan politik di saat berkembangnya perusahaan ini sejak runtuhnya kekuasaan kolonial di tahun 1942,Pendudukan Jepang, berdirinya NIT, Orde Lama, berdirinya Orde Baru dan seterusnya. Seolah-olah perubahan-perubahan besar ini tak berpengaruh terhadap bangun dan surutnya pengusaha seperti Haji Kalla dan dunia ekonomi Sulawesi Selatan secara umum.

Terasa benar ada yang hilang dalam narasiPelras tentang masa-masa ini. Penutup Buku ini adalah sebuah epik besar yang berkisah tentang apa yang diyakini oleh Pelras sebagai masyarakat Bugis yang, dalam bahasanya sendiri "yang bertahan dan yang berubah."

Ini bukanlah sebuah buku yang berkeinginan untuk menjelaskan apalagi berdebat tentang masyarakat Bugis di saat ini, atauapakah yang ada adalah berbagai masyarakat Bugis dengan segala keragamannya, ataupun kenapa masyarakat Bugis mendapat bentuknya yang sekarang. Buku ini adalah buku pengantar sekaligus buku referensi.

Sebuah buku referensi yang lengkap pada saat yang sama dapat menjadi buku yang berbahaya bagi kehidupan akademis. Sebuah buku referensi yang berambisi untuk menjadi karya yang lengkap akan menimbulkan kesan bahwa semua yang perlu diketahui telah dimuat dalam buku ini dan semua pertanyaan telah terjawab.

Apalagi kalau buku tersebut ditulis dengan narasi yang tak menimbulkan dan tak memprovokasi rasa penasaran, rasa ingin tahu, atau bahkan rasa marah. Ini berarti tak ada lagi yang perlu ditulis atau dijawab-buku tersebut adalah titik akhir.

Kita tahu bahwa masyarakat penutur bahasa Bugis adalah jauh lebih kompleks dan membingungkan dari apa yang sudah secara mendetil dikisahkan oleh Pelras. Kita masih belum tahu kenapa di dalam masyarakat yang menurut Pelras hidup semangat yang kuat akan kebebasan dan individualisme hidup pula obsesi akan hirarki (dan karenanya hubungan patron-klien yang kental)?

Pelras sendiri menyodorkan satu teka-teki besar: Jika ajaran-ajaran leluhur yang bersifat normatif begitu luhur, lalu bagaimana menjelaskan perilaku sehari-hari yang mudah ditemui sekarang dimana masyarakat Bugis "bersaing dengan kasar, tidak adil, curang, membeda-bedakan orang di depan hukum" (hal. 260)?

Untuk memecahkan kontradiksi ini ia memberikan beberapa petunjuk (meski tak terlalu meyakinkan) bahwa ajaran-ajaran leluhur itu sendiri bila dilihat secara keseluruhan sudah mengandung kontradiksi, dan karenanya "sifat baik seseorang hukan sesuatu hal yang mutlak ada, akan tetapi sekadar sebagai alatuntuk mencapai tujuan yang dikehendaki" (hal. 262).

Buku Manusia Bugis karya Christian Pelras ini adalah buku yang harus dimiliki bagi para ahli antropologi, sejarah, politik, atau ilmu sosial dan humaniora lainnya. Isinya yang kaya dan acuannya yang lengkap juga membuat buku ini perlu dibaca bagi mereka yang sedang belajar untuk menjadi ahli.

Tapi buku ini hanya dapat membuka ruang untuk dilanjutkannya kajian-kajian tentang masyarakat Bugis kalau-dan hanya KALAU--buku ini dibaca dengan skeptisismc dan daya kritis. Hanya dengan semangat-semangat inilah karya baru yang menggelitik akan terus lahir.

Catatan Akhir Tidak jelas kenapa judul buku ini Manusia Bugis dan bukan Masyarakat Bugis atau Orang Bugis, padahal apabila dibaca, jarang sekali Pelras menggunakan kata "manusia Bugis" dalam pembahasannyadan cenderung "masyarakat" atau "orang" Bugis.