Breaking News

Zulkarnaen Damanik: Putra Daerah di Simalungun

Tradisi bupati Kristen di Simalungun hampir dipastikan akan berakhir pasca Pilkada tanggal 12 September 2005 yang akan datang. Ironisnya hal itu terjadi pada era dimana politik Kristen (baca: PDS) kembali eksis di kancah politik nasional maupun lokal, setidaknya ditandai dengan 13 kursi Partai Damai Sejahtera (PDS) di Senayan dan kehadiran wakil-wakil PDS di parlemen lokal. Yang jadi soal, kenapa kasus Simalungun justru terjadi pada masa politik Kristen mulai eksis?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya akan coba sajikan data dan analisis tentang peta politik di Kabupaten Simalungun serta prediksi atas hasil Pilkada yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.

DEMOGRAFI SIMALUNGUN: TAMU DI RUMAH SENDIRI
Kabupaten Simalungun adalah kawasan yang secara adat merupakan tanah leluhur etnis Simalungun. Namun dalam kenyataannnya wilayah tersebut menjadi tujuan migrasi etnis-etnis “tamu” dalam jumlah yang lebih besar sehingga etnis Simalungun sendiri menjadi kaum minoritas di rumah sendiri. Kelompok etnis terbesar adalah suku Jawa (46,53%), diikuti oleh suku Batak Toba (31,08%) dan Simalungun (15,82%).


Di sisi lain, di wilayah ini juga berkembang 2 agama besar yaitu Islam (58,40%) dan Kristen (41,10%). Pemeluk agama Kristen dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu Kristen Protestan (35,30%) dan Katolik (5,80%). Penduduk etnis Jawa pada umumnya memeluk agama Islam, ditambah dengan sebagian suku Simalungun, Toba dan etnis lainnya (terutama Mandailing dan Minang). Sementara etnis Batak Toba dan Simalungun sebagian besar memeluk agama Kristen Protestan dan sebagian kecil pemeluk Katolik dan Islam .

Meskipun Islam adalah agama mayoritas, secara tradisionil yang menduduki jabatan bupati adalah pemeluk agama Kristen. Sejak pemisahan kota Pematangsiantar dengan Kabupaten Simalungun pada tahun 1961, maka 6 bupati Simalungun dalam kurun waktu 44 tahun terakhir adalah pemeluk agama Kristen, mulai dari Radjamin Purba (Protestan), TPR Sinaga (Protestan), BF. Silalahi (Protestan), JP. Silitonga (Protestan), Djabanten Damanik (Protestan) dan John Hugo Silalahi (Katolik).

Gejala menarik lainnya, meskipun wilayah Simalungun merupakan tanah leluhur etnis Simalungun, namun dari 6 bupati sejak tahun 1961, 4 diantaranya berasal dari etnis Batak Toba. Meskipun sebagian tokoh etnis Simalungun berusaha membangkitkan isu etnis ini sejak pertengahan tahun 1980-an (pada saat proses pencalonan JP. Silitonga untuk periode jabatan bupati yang keduakalinya), dominasi etnis Batak Toba kelihatannya sulit untuk digoyang.

MENANG JADI ARANG, KALAH JADI ABU
Lantas bagaimana dengan pilkada bupati periode 2005 - 2010 yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada tanggal 12 September 2005 yang akan datang ini? Kelihaian kelompok Islam dengan memanfaatkan konflik Simalungun – Toba nampaknya akan membuahkan hasil: berakhirnya dominasi Kristen di Simalungun! Tampilnya 3 kandidat Kristen – satu dari etnis Simalungun dan dua dari etnis Toba – akan membelah suara pemilih Kristen dan melempangkan langkah Zulkarnaen Damanik sebagai satu-satunya kandidat bupati beragama Islam.

Tapi sebelum sampai pada kesimpulan tersebut, mari kita lakukan analisis peluang dan ancaman atas masing-masing pasangan kandidat:

1. Pasangan John Hugo Silalahi/Iskandar Sinaga
Pasangan Toba-Katolik dengan Simalungun-Muslim ini sebenarnya memiliki beberapa kelebihan dibanding pasangan lainnya. Sebagai incumbent , John Hugo tentu memiliki banyak keuntungan, terutama jika ia dapat memanfaatkan instrumen kebijakan publik yang dimilikinya dengan baik. Sebagai satu-satunya kandidat Katolik, maka sebagian besar suara pemilih Katolik di Simalungun hampir dipastikan akan menjadi miliknya.
Iskandar Sinaga (seorang pengusaha perkebunan) sendiri akhirnya kehilangan daya pikatnya untuk meraup suara Simalungun-Islam dengan munculnya Zulkarnaen Damanik yang ternyata lebih bersinar. Namun pengaruhnya di beberapa kecamatan di kawasan Simalungun Bawah diperhitungkan masih mampu menyedot suara pemilih Muslim dalam jumlah yang signifikan (tapi masih kalah banyak dibanding yang akan diperoleh pasangan Zulkarnaen-Pardamean).

Pasangan ini menghadapi masalah yang sangat serius dengan tampilnya dua kandidat bupati beragama Kristen, yaitu Radjisten Sitorus dan Yan Santoso Purba. Di satu sisi Radjisten akan membelah suara pemilih Toba-Kristen. Di sisi lain pasangan ini juga akan kehilangan suara pemilih Simalungun-Kristen dalam jumlah yang sangat signifikan (pada umumnya berdomisili di kawasan Simalungun Atas) dengan tampilnya Yan Santoso. Untuk meredam sentimen etnis Simalungun, selama empat tahun terakhir John Hugo telah mencoba menanamkan investasi politik yang cukup besar di kawasan Simalungun Atas, sehingga kawasan tersebut sebelumnya telah diprediksi menjadi basis dukungan untuk John Hugo. Namun ibarat tersapu gelombang Tsunami, suara tersebut bakal hanyut ke pundi-pundi Yan Santoso, berkat kharisma almarhum Radjamin Purba (mantan bupati yang dipandang sangat berjasa membangun Simalungun) yang adalah paman Yan Santoso. Selain itu, dukungan yang transparan dari pimpinan pusat GKPS kepada Yan Santoso semakin menyulitkan John Hugo untuk melakukan recovery.

Secara makro pembangunan Kabupaten Simalungun cukup lumayan di bawah kepemimpinan John Hugo, terutama di bidang infrastruktur. Namun kegagalannya memberantas KKN menjadi titik lemah yang akan menjadi serangan empuk lawan-lawannya. Apalagi manajemen public-relation-nya juga kurang mendukung (ingat kasus kekalahan Mega pada pilpres 2005).

Sebenarnya kurun waktu satu setengah bulan menjelang pilkada ini sangat berharga baginya untuk mencuri start “kampanye”, yaitu dengan menggunakan instrumen kebijakan yang masih menjadi otoritasnya. Dengan berbagai kebijakan publik yang populis, ia masih mampu menutupi sebagian kelemahannya dan “mencuri” simpati publik. Tapi melihat kapasitas “ring satu”-nya yang memprihatinkan, sulit mengharapkan John Hugo akan memanfaatkan peluang tersebut dengan optimal.

2. Pasangan Zulkarnaen Damanik/Pardamean Siregar
Sebagai satu-satunya kandidat bupati yang beragama Islam, pasangan ini memiliki peluang yang sangat besar untuk untuk memenangi pilkada kali ini. Dengan perhitungan yang konservatif saja perolehan suara dari pemilih muslim diperkirakan akan mencapai angka 55%. Maka dengan tambahan 10% saja suara pemilih Kristen sebagai “share” dari Pardamean Siregar (pengusaha beragama Kristen), pasangan ini akan melenggang ke kursi kekuasaan.

Terlepas dari bersih tidaknya dari KKN, Zulkarnaen Damanik selama ini dikenal sebagai birokrat yang ramah dan murah hati. Selain dukungan dari pemilih Islam, tambahan dukungan dari birokrat Kabupaten Simalungun juga diperkirakan akan mengalir.
Pardamean Siregar sebagai tokoh dan pengusaha dari kawasan Simalungun bawah juga dikenal sebagai seorang yang dermawan, sehingga dukungan pemilih dari kawasan tersebut diperkirakan akan mengalir kepada pasangan ini.

Belajar dari kasus SBY yang lebih dimenangkan oleh “pencitraaan” ketimbang usaha-usaha kampanye lainnya, maka keberuntungan yang sama mungkin akan terjadi bagi pasangan ini.

3. Pasangan Radjisten Sitorus/Ponidi
Berguru kepada DL. Sitorus (seorang pengusaha hitam yang menjadi cukong pasangan ini) yang sukses dengan money-politic-nya pada pilkada di Kabupaten Tobasa, pasangan ini akan lebih mengandalkan politik uang untuk membeli suara pemilih.

Kombinasi pasangan ini – Toba-Kristen dengan Jawa-Islam - sebenarnya sangat ideal karena mencakup dua kelompok etnis dan agama terbesar di Simalungun. Namun popularitas kedua tokoh ini masih sangat rendah. Jika akhir-akhir ini pasangan ini menjadi populer, hal itu lebih karena praktik-praktik politik uang yang mereka lakukan dengan jor-joran (misalnya di beberapa kota kecamatan, lapo-lapo tuak menyediakan minuman dan tambul daging anjing gratis yang didanai oleh pasangan ini).

Faktor DL. Sitorus sendiri lebih merupakan titik lemah ketimbang sebagai dewa penolong. Berbeda dengan masyarakat Toba Samosir yang memiliki banyak ketergantungan (terutama masalah lapangan kerja) kepada tokoh ini, masyarakat Simalungun nyaris tidak memiliki sangkut-paut dengan tokoh ini, kecuali hubungan kekerabatan, dan itu terbatas bagi kelompok etnis Batak Toba yang berasal dari Tobasa (marga Sitorus, Sirait, Manurung dst). Dari hubungan kekerabatan dan politik uang, maka pasangan ini diperkirakan akan meraup 25% suara pemilih Kristen.

Meskipun Ponidi adalah satu-satunya kandidat dari etnis Jawa, pasangan ini diperkirakan hanya meraih 15% suara pemilih Islam.

4. Pasangan Yan Santoso Purba/Fatimah Siregar
Kecuali bagi umat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Yan Santoso Purba kurang dikenal oleh masyarakat Simalungun. Fatimah sendiri merupakan titik lemah yang secara politis tidak layak jual, menyusul kekalahannya pada pilkada kota Pematangsiantar baru-baru ini. Secara jujur harus diakui, secara politis, keduanya adalah pasangan yang terburuk dari keempat pasangan yang akan bertarung. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa Yan Santoso hanyalah korban dari sentimen etnis Simalungun-Kristen yang memaksakan diri untuk mengajukan calon bupati. Isu peningkatan kualitas dan status Universitas Simalungun (USI) menjadi universitas negeri yang dikembangkannya setahun terakhir justru disambut dingin oleh masyarakat, karena pelajar Simalungun secara tradisional selalu berjuang untuk mendapatkan kursi di universitas-universitas terkemuka di Pulau Jawa. Melanjutkan pendidikan di kampung sendiri adalah sesuatu yang “memalukan”.

Selain itu, predikat “Zakeus yang belum bertobat” mulai dikembangkan lawan-lawan politiknya. Belum lama ini penulis menemukan selebaran berisi daftar aset “hasil rampokan” Yan Santoso dari profesinya sebagai aparat Ditjen Pajak, termasuk beberapa unit rumah mewah di perumahan elit di Medan dan Jakarta. Terlepas dari benar atau tidak, penyebaran informasi tersebut akan mengurangi popularitas Yan Santoso, apalagi pihaknya samasekali tidak bereaksi (berlaku dalil “diam artinya setuju”).

Bagaimanapun, popularitas almarhum Radjamin Purba (paman Yan Santoso) dan “fatwa” pimpinan GKPS akan mengalirkan sebagian besar suara pemilih Simalungun-Kristen ke pundi suara pasangan ini. Namun itu jauh dari cukup untuk membawanya ke kursi bupati Simalungun. Fatimah nyaris tak terharapkan untuk mempengaruhi pemilih Islam, hal itu sudah terbukti pada pilkda Siantar. Angka 5% dari pemilih Islam merupakan prediksi yang sangat optimistis.

Dari analisis di atas kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa jika tidak terjadi perobahan komposisi calon, maka yang paling berpeluang untuk memenangi pilkada kali ini adalah pasangan Zulkarnaen/Pardamean, disusul oleh John Hugo/Iskandar, Radjisten/Ponidi dan Yan Santoso/Fatimah pada urutan terakhir .

Dengan hanya unggul 3,32% dari pasangan John Hugo/Iskandar, Zulkarnaen berhasil mengakhiri dominasi Kristen di Simalungun. Dan secara memprihatinkan 55% suara pemilih Kristen (ekuivalen dengan 19,42% total suara) akan sia-sia di kantong Radjisten dan Yan Santoso. Atau jika mau lebih spesifik, terdapat 30% suara Kristen (ekuivalen dengan 10,59% total suara) yang “terbuang percuma” di kantong Yan Santoso. Jika skenario itu yang terjadi, maka kenaifan PDS dalam pengambilan keputusan politik akan berakibat fatal bagi eksistensi geopolitik Kristen di Indonsesia, setidaknya di Sumatera Utara. Yan Santoso tidak akan tampil tanpa dukungan PDS karena persentase perolehan 7 partai pendukung lainnya (hanya 10,78%) tidak cukup untuk membawanya ke kursi kandidat bupati. PDS adalah partai pendukung utama dalam pencalonan Yan Santoso dengan 4,72% perolehan suara dan 4 kursi di DPRD Kabupaten Simalungun. Jika PDS mencabut dukungannya, maka pasangan Yan Santoso/Fatimah tidak dapat memenuhi persyaratan 15% suara yang dibutuhkan sebagai syarat utama pencalonan.

Penyelamatan eksistensi politik Kristen di Simalungun hanya dapat dilakukan jika Yan Santoso “legowo” untuk mundur dari kontes. Apabila Yan Santoso Purba mundur , maka dukungan kepadanya sebagian besar akan “kembali” kepada John Hugo, dengan perkiraan sbb:
- 5% suara pemilih Islam akan terdistribusi secara merata, namun sebagai incumbent John Hugo akan memperoleh bagian yang sedikit lebih besar
- 30% suara pemilih Simalungun-Kristen yang sebelumnya merupakan pendukung John Hugo, sebagian besar (20%) akan kembali kepadanya, sedang sisanya akan dibagi rata masing-masing 5% oleh Zulkarnaen (sentimen positif pemilih Simalungun Kristen terhadap Zulkarnaen sebagai suku Simalungun) dan Radjisten (sentimen Kristen).
- 5% suara pemilih Katolik seluruhnya akan kembali ke John Hugo
- 15% pemilih agama lainnya akan terdistribusi secara merata, namun sebagai incumbent John Hugo akan memperoleh bagian yang sedikit lebih besar.

Dengan tambahan suara tersebut, maka John Hugo akan unggul tipis (2,57%) dari Zulkarnaen Damanik (lihat Tabel VIII). Eksistensi Kristen di Simalungun akan bertahan setidaknya lima tahun ke depan.

PENUTUP
Masalahnya sekarang adalah bagaimana usaha “membujuk” Yan Santoso untuk bersedia mundur. Disini dibutuhkan pendekatan politik yang arif, baik dari pihak PDS maupun dari kandidat John Hugo Silalahi. Tawar-menawar politik adalah hal yang wajar dan selayaknya terjadi dalam situasi seperti ini. Dengan agenda utama penyelamatan politik Kristen di Simalungun, ketiga komponen ini – Yan Santoso, John Hugo dan PDS – seharusnya mampu membangun komunikasi politik yang dilandasi oleh KASIH. Penulis yakin, apabila komunikasi ini dilakukan, maka akan tercapai win-win solution tanpa ada pihak yang harus kehilangan muka atau merasa dikorbankan. Pihak John Hugo – misalnya – dapat menawarkan “mesin politiknya” untuk mendukung pencalonan dan pemenangan Yan Santoso pada pilkada 2010 yang akan datang. PDS sendiri dapat meminta konsesi politik yang wajar dari John Hugo apabila kandidat ini memenangi pilkada.

Lebih dari itu, kesepakatan yang akan dilakukan ini diharapkan dapat menjadi awal rekonsiliasi Simalungun-Kristen dengan Toba-Kristen di Simalungun. Secara jujur harus diakui, bahwa kelompok Simalungun-Kristen selayaknya mendapat porsi yang wajar di rumahnya sendiri tanpa mengabaikan eksistensi Toba-Kristen. Konsensus “pergiliran kekuasaan” dan komposisi kekuatan birokrasi pemerintahan yang seimbang layak untuk dipertimbangkan.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, dari mana komunikasi tersebut akan dimulai? Disinilah PDS sebagai corong politik Kristen harus berinisiatif untuk menjadi mediator yang arif. Mengingat waktu yang semakin sempit, maka politisi PDS harus segera melakukan komunikasi yang intensif kepada kedua belah pihak – John Hugo dan Yan Santoso. Politisi PDS juga harus menyiapkan beberapa alternatif solusi politik yang berimbang bagi kedua belah pihak. Disini peran “jangkar” PDS akan berfungsi efektif.

Masalahnya, apakah PDS memiliki sense of crisis atas masalah ini? Terus terang – semoga saya salah melihat – PDS ibarat “partai linglung” pasca bubarnya Koalisi Kebangsaan. Yang pasti, apabila petinggi PDS tidak memperdulikan masalah ini, maka benarlah sindiran kawan-kawan di Medan: “Jika Yudas Iskariot menjual Yesus seharga 30 perak, maka PDS sedikit lebih ‘sukses’ dengan menjual-Nya seharga 13 kursi legislatif…”

QUO VADIS PDS ???
Sumber: http://fraksi.partaidamaisejahtera.com
Selanjutnya

Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini