Breaking News

Kalender Batak

Porhalaan dan Falsafah Manusia Batak Atas.


Laklak Parhalaan merupakan sistem almanak atau kalender batak, berdasarkan pergerakan penguasa roda waktu Pane Na Bolon. Laklak pada awalnya dibuat dari kulit binatang, bukan kulit manusia sebagaimana pandangan barat ketika itu, dan digunakan untuk menarik suatu kegiatan bersama yang perlu dalam membangun desa. Misal kapan harus diadakan kegiatan marsiadapari saat menanam atau memanen, kapan saat yang tepat untuk mengadakan pesta pernikahan, bahkan sampai pada letak posisi rumah laksana Feng Shui. Hanya masalahnya sampai kini AMAT JARANG bahkan TIDAK ADA apalagi orang-orang Batak perkotaan yang tahu atau setidaknya memahami makna dan pilosofis dari laklak parhalaan itu


KATA Batak acapkali dialamatkan ke suku yang tinggal di Sumatra Utara. Istilah ini merujuk ke beberapa suku yang lazim disebut Suku Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba (termasuk Binsaran, Silindung, Humbang, Uluan, dan Samosir), serta Angkola-Mandailing. Beberapa menyebutkan bahwa Batak adalah istilah untuk suku yang masih (tidak) memeluk agama Islam. Suku-suku di atas memiliki persamaan dari segi bahasa, sistem kekerabatan, keagamaan, dan kebudayaan. Meskipun demikian, beberapa kajian mendalam akan berhasil mencermati karakter kuat perbedaaan antarsuku. Akibat pengaruh-pengaruh agama yang datang dari luar, semakin langka dan sulit kita temui Agama Batak Asli yang masih dipraktikkan. Kini posisi agama asli itu digantikan dengan agama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Parmalin. Sekarang hanya Suku Batak Toba yang menyebut diri sebagai Batak, sedangkan suku-suku lain menyebut dirinya sesuai dengan nama suku seperti tertulis di atas.

Kalender Batak yang dibahas ini saya dapatkan di Pulau Samosir pada 1995 silam. Akan tetapi, bukan berarti di daerah lain sekitar Sumatera Utara kalender tidak bisa ditemui. Ini disebabkan kalender ini (yang beragam bentuknya) telah menjadi bagian dari industri kerajinan di Sumatra Utara secara umum sebagai sebuah suvenir untuk turis. Bentuk kalender ini dibandingkan kalender lain lebih sederhana, namun memiliki keunikan tersendiri, terutama penahan ruas bambu pada kalender ini terbuat dari tulang iga babi.

Tulang babi tersebut memiliki dua sisi, pada pertama sisi tertoreh aksara dan simbol lingkaran, seperti simbol matahari. Sisi kedua tertoreh simbol binatang berekor, bergerigi, bercapit. Binatang itu adalah bentuk sederhana kalajengking (hala). Meski dijual sebagai suvenir, bentuk dan citraan kalender ini tidak mengurangi representasi kultur Batak sebagai sesuatu yang banal. Dengan kata lain, "aura" etnik Batak atau "aura artefak primitivisme" etnik Batak masih bisa kita rasakan.
Seloroh seorang teman, "kualitas primitif" pada kalender tersebut masih terasa kental.

Meski demikian, kalender/penanggalan Batak tidaklah semata artefak fisik budaya karena ia lebih sebuah refleksi pengetahuan untuk penyelenggaraan kebudayaan Batak. Berbeda dengan ulos, rumah adat, kuburan tua Batak, kalender atau penanggalan ini adalah manifestasi kesadaran orang Batak terhadap fenomena alam, perbintangan, gerak matahari, perjalanan bulan yang mengelilingi bumi. Kalender Batak dengan demikian merupakan salah satu ilmu di antara ilmu, seperti Tamba tua, Dorma, Porpangiron, Porsili, pamapai ulu-ulu, yang dihasilkan orang Batak, terutama untuk melangsungkan budaya dan kepercayaannya. Keseluruhan ilmu yang dihasilkan orang Batak sering diistilahkan sebagai pustaha (buku kulit kayu) yang berisikan pegangan bagi para datuk atau guru, yaitu para ahli ilmu gaib (dukun?). Penanggalan Batak adalah bagian dari isi pustaha. Adapun pustaha Batak berisikan antara lain 3 bagian besar ilmu: ilmu yang menyambung hidup, Ilmu yang menghancurkan hidup, dan ilmu nujum.

Dengan ukuran yang bervariasi, kalender Batak atau porhalaan biasanya terdiri dari 12 ruas bambu yang juga berarti 12 bulan dan setiap ruas memuat masing-masing 30 hari. Namun, ada juga porhalaan yang terdiri atas 13 ruas. Ruas bambu pertama terletak dipinggir kanan dan ruas bambu ke-dua belas terletak di pinggir kiri. Hal ini dapat lihat dari torehan angka urut 1-12 dari kiri ke kanan. Pada prinsipnya, kalender tersebut tidak pernah dipakai untuk penanggalan melainkan ditujukan untuk meramal hari baik yang disebut panjujuron ari.

Karena porhalaan didasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi, satu tahun terdiri atas 12 bulan, masing-masing 30 hari sehingga keseluruhan hari berjumlah 360 hari.
Pada diagram porhalaan yang tertoreh di atas permukaan ruas bambu, tampak 12 atau 13 bulan dengan masing-masing batasan hari dengan garis melintang dan membujur. Selain itu, tampak pula beberapa garis sudut menyudut yang masing-masing berpangkal pada hari ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 di bulan purnama. Pada bulan kedua, hari yang kena garis diagonal tersebut adalah hari ke-6, ke-13, dan seterusnya. Hari-hari ini dikenal sebagai ari na pitu -- hari-hari yang ketujuh yang harus dihindarkan jika ingin memulai suatu pekerjaaan yang baru. Selain ari na pitu tersebut, terdapat gambar kalajengking (hala) yang telah tersebut di atas. Pada hari yang ditempati kepala, badan, atau ekor menandakan tidak diperbolehkannya upacara apa pun dilakukan. Hari-hari yang lain ditandai dengan bermacam-macam lambang yang tidak selalu seragam. Hari yang baik biasanya ditandai dengan sebuah titik yang melambangkan butir padi, sedangkan hari yang tidak menentu ditandai dengan tanda silang. Hari-hari yang lain biasanya kurang menguntungkan. Beberapa hari juga ditandai dengan huruf.

Pada porhalaan Batak, hari yang ditandai /ha/, /na/, /ta/, dan /o/ adalah hari baik, huruf /ra/ menandai hari yang dapat diragukan, sedangkan huruf /pa/, /sa/, /la/, /nga/, /ngu/, /hu/, dan /ba/ menandai hari yang buruk. Catatan: tulisan ini memang tidak menyediakan tabel aksara Batak mengingat panjangnya aksara tersebut jika dituliskan.

Banyak kegiatan yang mengandalkan porhalaan seperti menentukan saat persemaian, waktu panen, hari perkawinan, mendirikan rumah, atau memasuki rumah baru, mengadakan perjalanan, berperang, dll.

"Porhalaan" dan falsafah gaib Batak

Dengan membaca porhalaan, setidaknya kita temui prinsip Batak yang disebut Dalihan Natolu yang secara bahasa berarti 'satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu'. Pada zamannya, masyarakat Batak punya kebiasaan memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.

Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam praktiknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk menyejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut sihal-sihal. Jika letaknya sudah tepat, memasak bisa dilakukan.

Masyarakat Batak mengenal umpasa: "Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi", Umpasa (pantun, puisi, aforisme?) itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak. Di sisi lain, masyarakat Batak juga mengenal umpama (pepatah). Beda umpasa dan umpama bisa disarikan sebagai berikut:

- umpama dan umpasa sering punya sampiran
- umpama dan umpasa dapat dibedakan berdasarkan isi
- umpama dapat dikatakan bersifat "statis", sedangkan umpasa bersifat "dinamis"
- umpama merupakan kiasan (dari berbagai umpama sebagai besar menggunakan kata songon, artinya: seperti, ibarat, dan istilah lain yang sejenis.
- di antara sebagian umpasa berisi puisi yang memiliki makna yang dalam.

Itulah tiga falsafah hukum adat Batak akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang lestari dalam tatanan adat sejak seseorang lahir sampai meninggal dunia.
Kembali ke porhalaan, telah tertulis di atas bahwa porhalaan merepresentasikan cara pandang "pembagian tiga", yakni hari baik, hari buruk, dan wilayah antara yaitu hari yang ragu. Cara pandang trikotomis (dalihan natolu) pada gilirannya merupakan refleksi sistem kepercayaan/falsafah Batak terhadap alam kosmis. Karena porhalaan merupakan pijakan penting untuk menentukan berbagai acara adat, dengan sendirinya termaktub pula sistem-sistem kepercayaan lain sehubungan dengan kaitan antara laki-laki-wanita, dominasi gender, keutamaan hierarki. Di saat bersamaan menggandeng pula wacana keharmonisan yang terletak di antara cara pandang dualistik.

Meski di masa sekarang porhalaan jarang dipergunakan, sebagai refleksi astronomi masyarakat Batak, pengetahuan untuk memahami dunia luar dengan dunia dalam atau dunia atas dengan dunia bawah adalah kekayaan khazanah ilmu pengetahuan lokal yang penting. Tidak saja untuk kepentingan analisis ontologis, tetapi terkait pula dengan episteme masyarakat Batak. Mungkin perlu dicatat bahwa kelompok Batak yang masih menggunakan kalender ini adalah kelompok Parmalim. Parmalim adalah aliran kepercayaan yang berdasar pada agama leluhur Batak.

Jika kebudayaan Indonesia secara umum adalah "kebudayaan muda", perlu penelitian lebih lanjut kaitan-kaitan porhalaan ini dengan numerologi (peramalan berdasarkan angka-angka yang dikaitkan dengan alfabet). Seperti juga astrologi (ramalan berdasarkan bintang-bintang tertentu), numerologi berkembang di Sumeria, ke Mesir, ke Babilonia, lalu ke Persia yang terkait dengan penyembahan roh-roh halus, sihir, tenung, teluh. Kaitan ini bisa mungkin mengingat ajaran Zoroaster ( cabang kepercayaan Qabala yang menyebar ke Persia) yang praktiknya menekankan pada sihir, ramalan-ramalan, dan penyembahan kepada Iblis. Kaum inilah lalu menyembah matahari sebagai perlambang Lucifer. Kepercayaan ini bertahan sampai ditaklukan Islam pada 651 Masehi.***

Selanjutnya