Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, BABI, PENDAHULUAN
Latar Belakang masalah
Karya sastra adalah ungkapan pikiran dan perasaan seseorang pengarang
dalam usahanya untuk menghayati kejadian-kejadian yang ada disekitarnya, baik
yang dialaminya maupun yang terjadi pada orang lain pada kelompok
masyarakatnya. Hasil imajinasi pengarang tersebut dituang ke dalam bentuk karya
sastra untuk dihidangkan kepada masyarakat pembaca untuk dinikmati, dipahami
dan dimanfaatkan. Dengan demikian karya sastra bukanlah suatu uraian-uraian
kosong atau khayalan yang sifatnya sekedaer menghibur pembaca saja tetapi
melalui karya sastra dihidupapkan pembaca lebih arif dan bijaksana dalam bertindak
dan berpikir karena pada karya sastra selalu berisi masalah kehidupan manusia nyata.
Jadi tidak salah dikatakan bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Sumardjo (:) menyatakan "...Sastra adalah produk masyarakat
yang mencerminkan masyarakatnya. Obsesi masyarakat adalah menjadi obsesi
pengarang yang menjadi anggota masyarakat.
Pengarang selalu mempergunakan tokoh-tokoh sebagai wakil-wakil manusia
yang dijumpai pada masyarakat. Melalui tokoh-tokoh inilah pengarang mengembangkan ide dan imajinasinya sehingga cerita tersebut kelihatan benar-
benar hidup dan berkembang seperti kehidupan nyata.
Pada masyarakat tradisonal karya sastra dianggap sebagai sarana pendidikan
formal yang membimbing anak-anak agar berperilaku baik. Penyajiannya dilakukan
secara lisan. Pada malam hari para orang tua sudah mulai bercerita sambil
meninabobokan anak-anaknya. Cerita yang mereka ceritakan berupa dongeng, mite,
legenda yang kejadiannya dianggap pernah terjadi di lingkungan mereka walaupun
kejadian tersebut terjadi jauh sebelum zaman mereka merasakan atau menganggap
cerita tersebut milik mereka.
Pada saat sekarang perhatian masyarakat terhadap kesusastraaan lisan
sudah kurang diminati. Cerita lisan yang pada masyarakat tradisional sangat besar
perannya untuk memberikan pengajaran dan penghiburan agaknya sudah tergeser
posisinya oleh masuknya sarana hiburan modern.
Cerita rakyat Na Mora Pande Bosi Lubis adalah cerita legendaris yang
mengisahkan tentang perjalanan seorang Bugis yang bertualang menjadi maria Lubis
setelah mengawini saudara perempuan Raja Hatongga di Tapanuli Selatan. Marga
Lubis didapatkan dari marga Amang Boru dari Raja Hmongga sesuai dengan adat
Batak Angkola mandailing yang secara otomatis petualang Bugis dijadikan menjadi
anak. Cerita ini yang mengungkapkan beberapa nama daerah yang terdapat di
Tapanuli Selatan, seperti: Pardomuan, Singengu, Lobu Hatong, Padang Sigenduk,
Hamaya Tonggi, dan lain-lain.
Demikianlah cerita rakyat Na Mora Pande Bosi Lubis sangat diminati tetapi
masih sedikit pengkajian dilakukan pada cerita ini. Dengan alasan inilah penulis ingin mengakaji dari segi struktur cerita tersebut.
Batasan Masalah
Sesuai dengan uraian-urain yang terdapat pada latar belakang dan masalah
agar pengkajian ini lebih baik dan terarah, penulis membatasi masalah hanya pada
tema, alur, karakter dan latar.
Tujuan penulisan
Tujuan penulisan karya ilmiah, untuk:
Mengetahui struktur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis
Memaparkan keterkaitan unsur-unsur pembentuk cerita cerita Na Mora Pande BosiLubis.
Landasan
Setiap karya ilmiah haruslah dapat memecahkan masalah yang menjadi
kesimpulan atau hasil pada penulisan tersebut.Tentunya untuk dapat memecahkan
masalah tersebut haruslah dengan menggunakan ‘alat bantu' yang dalam hal ini
disebut dengan teori.
Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori struktural. Teori
struktural berusaha untuk memilah-milah dengnn baik unsur-unsur pembentuk suatu
karya sastra yang dalam hal ini karya sastra berbentuk prosa. Teeuw, (: )
menyatakan, Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secara cermat, semendetail dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan
semua analisis aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh.
Berbicara tentang Anatomi prosa (cerita), setiap cerita dibentuk oleh dua
bagian besar unsur yaitu unsur intrinsik clan unsur ekstrinsik dimana unsur intrinsik
disebut sebagai unsur dalam yang membentuk suatu cerita sedangkan unsur
ekstrinsik disebut unsur luar yaitu unsur-unsur pendukung terciptnya suatu cerita.
Semi, (:) menyatakan,
Struktur fiksi itu secara garis besar " dibagi alas dua bagian, yaitu: ()
Struktur luar ekstrinsik dan () intrinsik dalam (instrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosiol politik, keagamaan, dan tata nilai
yang dianut masyarakat.
Struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti: penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengesahan, latar dan gaya bahasa.
BAB II
UNSUR - UNSUR INTRINSIK
Tema
Setiap karya sastra harus mempunyai dasar cerita atau tema yang
merupakan persoalan utama dari sejumlah permasalahan yang ada. Tema dapat
menjalin rangkaian cerita secara keseluruhan. Penggambaran tokoh, latar maupun
alur semuanya mengacu pada pokok pikiran yang sama Hartoko dan Rahmanto
: ) menyatakan, Tema adalah gagasan dasar umum yang terdapat dalam
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis
dan yang menyangkut persamaan dan perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari
motif-motif konkrit yang menuturkan urut peristiwa atau situasi tertentu. Bila dalam
sebuah cerita tampil motif mengenai suka duka pernikahan, perceraian dan
pernikahan kembali maka kita dapat menyaring tema mengenai tak lestarinya
pernikahan.
Purwadarminta, (:) mengatakan, "... Tema adalah pokok pikiran,
dasar cerita atau sesuatu yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar untuk
mengarang.
Tema pada suatu karya sastra dapat ditentukan dengan beberapa langkah.
Esten, (:) menyatakan, Untuk menentukan tema dalam sebuah karya sastra
ada tiga macam yang bisa ditempuh yakni:
. Melihat persoalan yang paling menonjol.
. Secara kualitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-
konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa
. Menghitung waktu perceritaan.
Cara yang paling umum dan sering digunakan adalah cara kedua yaitu
melihat persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-konflik dengan
melihat peristiwa-peristiwa selalu berulang-ulang dalam keseluruhan cerita sehingga
tema akall selalu terkait pada tokoh, alur dan latar.
Uraian–uraian di atas telah banyak menerangkan pengertian tema sehingga
dapat disimpulkan bahwa tema merupakan salah satu unsur penting dalam suatu karya sastra menentukan tema suatu cerita hanya dapat dilakukan bila telah memahami karya sastra tersebut secara keseluruhan.
.. Alur
Alur merupakan unsur yang sangat penting dalam cerita. Alur berperan
mengatur hubungan peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita. Karena peristiwa-
peristiwa dalanm suatu cerita mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Suatu
peristiwa atau kejadian dalam cerita dapat terjadi justru disebabkan oleh adanya peristiwa sebelumnya. Rangkaian peristiwa yang terdapat dalam suatu cerita inilah yang disebut alur. Seperti apa yang diungkapkan oleh Semi (:),
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
sebagai sebuah inter-relasi fungsional yang sekaligus fiksi. Dengan demikian,
alur ini merupakan perpaduan unsur–unsur yang membangun cerita. Dalam
pengertian ini alur merupakan rangkaian suatu jalur tempat lewatnya
rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang
berusaha memecahkan konfflik yang terdapat di dalamnya".
Alur suatu cerita sangat erat hubungannya dengan unsur-unsur yang lain
seperti perwatakan, setting, suasana lingkungan begitu juga dengan waktu.
Berdasarkan hubungan antara tokoh-tokoh dalam cerita, yang biasanya ditentukan
oleh jumlah tokoh, maka alur terbagi atas dua bagian seperti yang dikemukakan
oleh Semi (:),
“Alur yang bagian-bagiannya diikat dengan erat disebut alur erat, sedangkan
yang diikat dengan longgar disebut alur longgar. Biasanya alur erat ditemui
pada cerita yang memiliki jumlah pelaku menjadi lebih sering dan
membentuk jaringan yang lebih rapat".
Bila dilihat menurut urutan peristiwa, alur dapat dibagi atas dua bagian, yaitu
alur maju dan alur sorot batik. Alur maju ialah rangkaian peristiwa dijalin secara
kronologis. Sedangkan alur sorot balik (flash back) ialah rangkaian peristiwa dijalin
tidak berurutan, tidak kronologi.
Lebih lanjut S. Tasrif dalam Tarigan (: ) menyatakan,
“. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)
. Generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)
. Rising action (keadaan mulai memuncak)
. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks)
. Dedoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua
peristiwa)”
Pendapat Tasrif di atas, mengungkapkan beberapa tahap dalam alur maju.
.. Latar atau Setting
Suatu cerita dapat terjadi pada suatu tempat atau lingkungan tertentu.
Tempat dalam hal inim ernpunyai ruang lingkup yang sangat luas termasuk nama
kota, desa, sungai, gunung, lembah, sekolah, rumah), toko, dan lain-lain. Unsur
tempat sangat mendukung terhadap perwatakan tema, alur serta unsur yang lain.
Seseorang yang hidup di lingkungan sekolah tentu secara umum akan mempunyai
watak yang berbeda dengan orang yang tinggal di lingkungan kebun. Atau seseorang
yang dibesarkan di desa tentu akan memiliki walak yang berbeda dengan orang yang
lahir dan dibesarkan di kota (secara umum).
Unsur waktu juga bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu cerita. Suatu
cerita dapat terjadi pada suatu saat tertentu misalnya pada abad XX, pada masa
penjajahan Jepang di Indonesia, ketika musim hujan, ketika musim semi, tahun,
bulan, hari dan sebagainya. Lingkungan terjadinya peristiwa-peristiwa atau suasana
cerita seperti orang-orang di sekitar tokoh atau juga benda-benda di sekitar tokoh
termasuk ke dalam latar belakang atau setting.
Dalam hal ini Atar Semi (:) mengatakan:
"Latar atau landas lampu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa
terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang dapat
diamati, seperti di kampus, di sebuah puskesmas, di dalam penjara, di Paris
dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau kerumunan orang yang
berada di sekitar tokoh, juga dapat dimasukan kedalam unsur latar, namun
tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk."
Latar belakang setting bukanlah hanya sebagai pelengkap dalam suatu cerita.
Unsur ini sangat mendukung terhadap unsur yang lain seperti tema, perwatakan.
Tempat terjadinya peristiwa, waktu terjadinya peristiwa dalam suatu cerita tentu
tentu tidak dipilih begitu saja oleh pengarang, tetepi juga disesuaikan dengan
tindakan tokoh cerita, pesan yang hendak disampaikan pengarang, atau hal lain.
Keberhasikan suatu cerita tentu sangat tergantung kepada keharmonisan
(keterpaduan) unsur-unsur tadi.
.. Perwatakan
Biasanya di dalam suatu cerita fiksi terdapat tokoh cerita atau pelaku cerita.
Tokoh cerita bisa satu atau lebih. Tokoh yang paling banyak peranannya di dalam
suatu cerita di sebut tokoh utama. Antara tokoh yang satu dengan yang lain ada
keterkaitan. Tindakan tokoh cerita ini merupakan rangkaian peristiwa antara satu
kesatuan waktu dengan waktu yang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang tokoh tentu ada penyebabnya dalam hal ini adalah tindakan-tindakan atau
peristiwa sebelumnya. Jadi mengikuti atau menelusuri jalannya cerita sama halnya
dengan mengikuti perkembangan tokoh melalui tindakan-tindakannya. Robert
Stanton dalam Semi (:) menyatakan,
"Yang dimaksud dengan perwatakan dalam suatu fiksi biasanya dipandang
dari dua segi. Pertama: mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain
dalam cerita yang kedua adalah mengacu kepada perbauran dari minat,
keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam
suatu cerita".
Jadi perwatakan mengacu kepada dua hal yaitu tokoh itu sendiri dan
bagaimana watak atau kepribadiaan yang dimiliki oleh tokoh tersebut.
Dalam suatu cerita fiksi, pengarang menggambarkan atau memperkenalkan
bagaimana watak sang tokoh melalui dua cara yaitu dengan terus terang pengarang
menyebutkan bagaimana sifat tokoh dalam cerita misalnya keras kepala, tekun,
sabar, tinggi hati atau yang lain, dan yang kedua yaitu pengarang menggambarkan
watak tokoh melalui beberapa hal seperti pemilikan nama, penggambaran melalui
dialog antara tokoh dalam cerita.
BAB III
PEMBAHASAN
.. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis
... Sinopsis
Daeng Mela yang kemudian digelari Na Mora Pande Bosi adalah seorang
pahlawan. Pada waktu Malaka jatuh ke tangan Portugis, Daeng Mela mundur, dan
ingin kembali ke negrinya Bugis. Namun dia harus menempuh jalan darat demi
keselamatan dirinya sendiri. Dia memulai perjalanan dari Labuhan Ruku dan sampai
di Negeri Baru, yang sama ini terkenal sebagai pelabuhan besar'.
Di sana Daeng Mela melapor kepada Raja Hatongga, dan menceritakan
kepandaiannya sebagai pandai besi, sekaligus mendemonstrasikan bagaimana cara
membuat cangkul, kampak, bajak, parang, tombak dan macam-macam lagi.
Caranya bekerja bukanlah seperti orang biasa, besi yang sudah dibakar bisa
dibengkokkan dan ditipiskan tanpa alat, cukup dengan menggunakan tangannya.
Raja Hatongga sangat heran, dan takjub. Akhirnya Daeng Mela sangat
disegani di kampung itu, sampai raja merestui perkawinannya dengan adik
perempuan Raja, yang bernama Lenggana. Sesuai dengan adat Tapanuli Selatan,
maka Daeng Mela diberi marga yaitu Lubis. Daeng Mela kini berganti nama menjadi
Na Mora Pande Bosi Lubis. Sebagai maharnya, Na Mora Pande Bosi Lubis hanya
memberi tiga helai kain tenun petani.
Demikianlah kedua insan ini membentuk keluarga di Lobu Hatongga dengan
sebidang tanah, dan perumahan yang diberikan raja Mereka cukup berbahagia
setelah lahir putra kembar, yaitu Sultan Bugis, dan Sulatan Berayun.
Suatu ketika Na Mora Pande Bosi Lubis pergi berburu ke tempat yang lebih
jauh dari sebelumnya, di Hamaya Tonggi yang terkenal angker. Sampai enam kali
dia menyumpit burung, kena dan jatuh ke tanah, namun tak pernah jumpa. Begitu
pula pada penyumpit yang ke tujuh kali membuat dia kesal dan marah. Tiba-tiba
muncullah seorang gadis cantik terjadilah dialog. Na Mora Pande Bosi Lubis begitu
terpesona melihat gadis itu, akhirnya dia mengikuti gadis tadi sampai ke tempat
tinggalnya, dan keduanya menjadi suami istri.
Kerajaan Hatongga menjadi heboh, raja memerintahkan semua orang untuk
mencari Na Mora Pande Bosi Lubis. Terakhir gong sakti dipukul (dibunyikan) Na Mora
Pande Besi Lubis sadar, dan dia kembali pulang menemui istrinya dengan membawa
keris tidak bersarung lagi.
Di negeri bunian istri kedua. Na Mora Pande Bosi Lubis melahirkan anak
kembar diberi diberi nama Si Langkitang dan Si Baetang. Setelah besar, kedua anak
ini pergi mencari ayalmya sesuai dengan petunjuk ibunya, dan ternyata impian
mereka terkabul. Keluarga Na Mora Pande Bosi menerima kedua anak itu sebagai
anggota keluarga, sama seperti anaknya kandung.
Suatu ketika terjadi perkelahian antara Sultan Bugis dengan Si Langkitang,
gara-gara berebut putri paman, yang akhimya dimenangkan oleh Si Langkitang.
Karena mereka saling berkelahi, maka sang ibu membela anak kandungnya, selia
menyuruh kedua anak itu pergi. Kedua anak itu pergi, dan mereka sampai di
Singengu. Singengu adalah daerah pegunungan yang tinggi dari apabila menatap
dari puncaknya, masih tampak Lobu Hatongga. Di sana dengan suara yang keras si
Langkitang bersumpah agar keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis di Lobu Hatongga
akan punah.
Demikian sumpah Si Langkitang di dengar Empu Mula Jadi Nabolon sehingga
keturunan Na Mora Pade Bosi Lubis tidak berkembang menurunkan marga Lubis di
daerah itu.
. Tema
Tema pada cerita Na Mora Pande Bosi Lubis dapat ditentukan dengan
mengamati awalnya yang mengungkapkan persoalan-persoalan yang paling klimaks
dari keseluruhan cerita tersebut.
Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mempunyai alur konflik mulai memuncak
dan klimaks ketika diperdaya putri bunian yang sedang berburu) dimana semua
hasil buruan hilang tidak kelihatan, akhirnya putri bunian menampakkan diri dan
mengakui bahwa semua hasil buruannya diambilnya melihat kecantikan putri bunian
itu Na Mora Pane Bosi Lubis terpesona dan memperistrikannya di negeri bunian.
Ketika putri bunian lagi hamil, Na Mora Pande Bosi Lubis tersadar setelah
mendengar suara gong yang memanggilnya bahwa dia berada di negeri bunian.
Na Mora Pnade Bosi Lubis akhirnya kembali pulang ke Lobu Hatongga
menemui istrinya setelah menitip sarung kerisnya kepada putri bunian.
Putri bunian pun melahirkan anak kembar, kedua anak itu diberi nama Si
Langkitang dan Baetang. Setelah mereka besar kedua anak itu pergi mengembara
mencari ayah mereka Pada suatu tempat mereka menemukan pekerjaan membuat
peralatan dari bahan besi yang kebetulan milik Na Mora Pande Bosi Lubis. Kedua
anak kembar itu mempunyai ketrampilan yang diwarisi dari ayah mereka. Melihat itu
Na Mora Pande Bosi sangat simpati lalu menawarkan agar mereka tinggal bersama
keluarganya.
"Panggil mereka masuk dan beri makan! "Kata Na Mora Pande Bosi Lubis.
Kedua anak itu sangat menikmati perhatian Na Mora Pande Bosi Lubis.
Timbullah rasa kasihan pada kedua anak itu dan Na Mora Pande Bosi Lubis
menawarkan supaya tak usah meneruskan perjalanan tetapi tetap tinggal
bersama keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis” (Sukapiring dan Jhonson
Pardosi, : ).
Si Langkitang dan Baetang kini sudah dianggap menjadi anggota keluarga Na
Mora Pande Bosi Lubis. Pada mulanya hubungan mereka sangat harmonis tetapi
keharmonisan itu lama kelamaan berubah menjadi pertengkaran antara Sutan
Bugis dengan Si Lengketang. Pasalnya karena perebutan cinta dari pariban Sutan
Bugis. Perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada suatu hari Lenggana ibu mereka
memanggil Si Baetang karena tidak tahan lagi melihat perkelahian. Lenggana
menanyakan maksud dan tujuan mereka berkeliaran. Si Baetang menjawab, bahwa
tujuan mereka untuk berkelana untuk mencari ayah mereka dan sebagai tanda
identitasnya dia menunjukkan sarung keris milik ayah mereka. Lenggana lain
memberitahukannya kepada suaminya & Na Mora Pande Bosi Lubis terkejut melihat
sarung keris itu karena sarung keris itu tertinggal ketika bersama putri bunian. Na
Mora Pande Bosi Lubis sangat senang dan haru bahwa dia telah berjumpa dengan
anaknya.
"Dengan parau ia pun berkata kepada Si Baetang: "Sarung keris ini adalah
milik saya dan kamu berdua adalah anak kandungku. Kedua makhluk Tuhan
itu pun berpelukan sambil mencucurkan air mata tanda gembira" (Sukapiring
dan Jhonson Pardosi, : ).
Pada suatu hari, terjadi lagi perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si
Langkitang. Perkelahian itu sangat seru yang menyebabkan Sutan Bugis luka-luka
yang mengena keris Si Langkitang. Lenggana ibu Sutan Bugis merasa tidak senang
melihat kejadian itu. Lenggana menyuruh Si Langkitang dan Si Baetang
meninggalkan Lobu Hatongga.
Mendengar perkataaan itu Na Mora Pande Bosi Lubis tidak dapat memberi
komentar dan menyetujuinya. Si Langkitang dan Si Baetang berangkat dengan
dendam membara di hati mereka hingga tiba pada suatu tempat mengutuk agar
keturunan NA Mora Pande Bosi Lubis punah.Dengan suara yang keras dan lantang
berserulah Si Langkitang: "Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di
Lobu Hatongga ...Punahlah ... kamu sekalian ... (Sukapiring dan Jhonson Pardosi,
: ).
Melihat dari urutan dari kontak Sampai klimaks dapatlah diambil kesimpulan
bahwa tema dari cerita Na Mora Pande Bosi ini adalah "Kasih sayang orang tua yang
berpihak akan merusak hubungan anak".
. Alur/Plot
Alur merupakan rangkaian kejadian mau peristiwa dalam suatu cerita.
Sebelum menentukan bagaimana alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis terlebih
dahulu digambarkan bagaimana cerita ini berjalan, sesuai dengan pembagian cerita
oleh S. Tasrif. Pembagian itu meliputi lukisan keadaan, peristiwa mulai bergerak,
keadaan mulai memuncak, peristiwa memuncak dan penyelesaiannya.
Mula-mula pengarang melukiskan suatu keadaan disebut situation. Setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis maka daeng Mela. sebagai seorang pejuang yang
kalah dalam perang terpaksa mundur dan berencana pulang ke kampungnya di
Bugis. Di tengah diperjalanan, setelah meninggalkan negeri Barus yang pada Baat
itu terkenal sebagai pelabuhan besar dia melapor kepada raja setempat yaitu
kerajaan Hatongga. Dia menceritakan keahliannya dan sekaligus mendemostrasikan
caranya menempa alat-alat pertanian dan alat perang secara menakjubkan Raja
heran dan takjub, senang terhadap Daeng Mela, karena senangnya raja merestui
perkawinan Daeng Mela dengan adik perempuannya, Lenggana. Mereka hidup
bahagia apalagi setelah dikaruniai dua orang anak (kembar) Sutan Bugis dan Sutan
Berayun.
"Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempuran sehingga
Daeng Mela dan pahlawan-pahlawan lainnya terpaksa menyerah dan
bermaksud pulang kembali ke negerinya Bugis" (Peraturen dari Jhonson,
: ).
"Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya raja pun
mengizinkan dan merestui perkawinannya dengan adiknya perempuan".
(Peraturen dan Jhonson, :).
"Setelah setahun berlalu perkawinan mereka dikarunia oleh tuhan dua orang
putra kembar. Dua orang putra kembar itu dinamai Sutan Bugis dan Sutan
Berayun". (Peraturen dan Jhonson, :).
Keadaan mulai bergerak atau disebut Generating Circumastance, yaitu
setelah daeng Mela (Na Mora Pande Bosi Lubis) pergi berburu dan berjumpa dengan
seorang putri bunian yang cantik dan mempesona yang akhirnya dikawininya
Kerajaan Hatongga heboh, istrinya cemas. Setelah gong sakti dipukul akhirnya Na
Mora Pande Bosi dapat kembali ke rumah berkumpul dengan istri dan anak-anaknya.
Di negeri bunian, tempat istrinya putri bunian telah melahirkan dua orang anak
kembar Si Langkitang dan Si Baetang. Setelah besar Si langkitang dan Baetang pergi
mencari ayahnya ke arah matahari terbenam, kemudian mereka berjumpa dengan
ayahnya. Mereka ini diterima dengan baik oleh keluarga Na Mora Pande Bosi. Pada
mulanya mereka cukup bahagia atas kedatangan kedua anak ini namun kemudian
mulailah terjadi perselisihan antara Si Langkitang (anak putri bunian) dengan Sutan
Bugis karena saling merebut putri pamannya yang cantik. Selama ini Sutan Bugis
telah berpacaran dengan puri pamannya tetapi dengan kedatangan Si Langkitang,
membuat Sutan Bugis membenci Si Langkitang.
"Si Langkitang lebih menarik perhatian putri raja yang mengakibatkan pindah
cintanya pada anak dari istri bunian itu. Hal ini diketahui oleh Sutan Bugis.
Hal ini menimbulkan benci dan marah Sutan Bugis pada Si Langkitang".
(Peraturen dan Jhonson, :).
Kebencian dan perasaan dendam memang tidak selamanya dapat dipendam.
Demikianlah Sutan Bugis semakin hari semakin berang dan membenci Si Langkitang,
dia tidak ingin kalau putri pamannya jatuh dalam pelukan Si Langkitang. Akhirnya
terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Sutan Bugis kalah,
hal ini membuat dia semakin ganas. Peristiwa ini dapat digolongkan ke dalam rising
action (keadaan mulai memuncak).
"Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Tetapi
dalam perkelahian ini Sutan Bugis kalab, ia menderita luka-luka". (Peraturan
dan Jhonson,:).
Kebencian semakin membara perselisihan semakin memanas apalagi setelah
Sutan Bugis kalah dalam perkelahian. Dia semakin berang dan ganas. Terjadilah
perkelahian sengit Sutaan Bugis kalah dan menderita luka-luka akibat tusukan keris.
Peristiwa ini merupakan klimaks (puncak) dalam cerita ini.
"Tak lama setelah itu, terjadi lagi perkelahian yang lebih mengkhawatirkan.
Mengakibatkan Sutan Bugis menderita luka-luka yang mengena keris yang di
tangannya sendiri" (Peraturen dan Jhonson, : ).
Kejadian tadi membuat istri Na Mora Pande Bosi tidak senang dan untuk
menjaga suasana damai dalam rumahnya sendiri, dia menyuruh kedua anak dari
putri bunian itu Si langkitang clan Baetang) untuk pergi. Kedua anak itu diberi
perbekalan tombak untuk menjaga diri, trulduk untuk serunai, dan sumpit untuk
menangkap burung.
Sebelumnya istri Na Mora Pande Bosi telah bersabar diri menasehati supaya
mereka jangan berkelahi mereka adalah saul ayah. Nasehat itu tidak mereka
indahkan akhirnya anak–anak itu harus pergi dari rumah itu. Menurut Na Mora Pande
Bosi dan istrinya keputusan ini merupakan suatu penyelesaian yang tepat. Namun
bagi Si Langkitang, keputusan ini sangat menyakitkan. Dia berusaha agar keturunan
Na Mora Pande Bosi Lubis punah. Peristiwa ini merupakan akhir dari cerita ini yang
disebut Denoument.
"Untuk menjaga suasana damai berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis
supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga. Hal ini
disetujui Na Mora Pande Bosi (Peraturen dan Jhonson, :).
Si Langkitang dan Si Baetang kini telah berada di Singengu yaitu nama
tempat yang sangat tinggi. Dari tempat ini Lobu Hatongga kelihatan sangat indah.
Dendam sangat membara di hati Si Lengkitang, maka dengan lancang dia berkata:
"Hai ...keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang berada di Lobu Hatongga ...Punah
sekalian ...!. Perkataan Si Langkitang di dengar Tuhan yang Maha Esa maka semua
perkataan dan kutukan Si Langkitang dikabulkan.
"Dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah:
"Hai keturunan Na Mora Pnde Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga
...punahlah ...kamu sekalian...! Kalimat ini diucapkan tiga kali. Rupanya
sumpah ini diterima oleh Tuhan. Hingga sampai sekarang keturunan Na Mora
Pande Bosi Lubis , Sutan Bugis yang kawin dengan boru tulangnya itu tinggal
seorang lagi, itu pun anak perempuan yang tinggal di Sagalangan sekarang".
Dari urutan peristiwa dalam cerita ini, dapat dilihat bahwa peristiwa berjalan
terus dari awal sampai akhir. Tidak ada peristiwa yang kembali ke belakang, hal
seperti ini dapat digolongkan ke dalam alur lurus.
Begitu juga hubungan peristiwa yang satu dengan yang lainnya sangat erat,
semua peristiwa dalam cerita mendukung-terhadap jalannya cerita dan juga lema
cerita. Dalam hal ini tergolong kepada alur cepat.
. Latar atau Setting
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya baik latar atau setting meliputi
tempat, ruang, waktu, termasuk juga lingkungan dari suasana terjadinya peristiwa.
Termasuk benda-benda yang ada dalam peristiwa tersebut.
Dalamcerita Na Mora Pande Bosi juga dijumpai beberapa latar seperti tempat,
waktu, suasana, ruang juga benda-benda (alat-alat) yang berhubungan dengan
cerita satu sama lain mempunyai hubungan atau keterkaitan. Satu persatu latar
tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Mula-mula dilukiskan bagaimana Daeng Mela seorang Bugis terdampar di
suatu tempat setelah mengalami kekalahan perang, dan juga kapan peristiwa itu
terjadi.
"Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama
Daeng Mela. Ia terdampar di tepi panttai kualuh dalam perjanannya pulang
ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis,
pada tahun ” (Peraturen dan Jhonson, : ).
Apa yang melatarbelakangi kekalahan Daeng Mela dan kawan-kawannya
dalam menghadapi Portugis, adalah peralatan perang yang tidak seimbang.
"Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempurna sehingga
Daeng Mela dan pahlawan–pahlawan
lainnya terpaksa menyerah ..."
(Peraturen dan Jhonson, :).
Dapat dimengerti bagaimana seorang pahlawan yang kalah dalam perang
masih dapat menyelamatkan diri, dengan cara sembunyi-sembunyi supaya terhindar
dari pandangan musuh.
"Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama
Daeng Mela. Ia terdampar di tepi sungai kualuh dalam perjalanannya pulang
ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis
pada tahun " (Peraturen dan Jhonson, :).
Di kerajaan Hatongga Daeng Mela harus melaporkan diri, karena dia seorang
pendatang ke kampung tersebut,
"Daeng Mela pun sampai ke tempat itu, orang harus melaporkan diri pada
raja Hatongga yang pada waktu itu bertempat tinggal di Parniakan"
(Peraturen dan Jhonson, : ).
Daeng Mela adalah seorang pandai besi yang dapat menempa alat-alat
peristiwa seperti tertera pada kutipan di bawah ini.
"Ia membuat cangkul, kampak, bajak, patung, tombak, pedang dan alat-alat
pertanian serta alat-alat perang dalam sekejap saja. Caranya setelah besi
dibakarnya dengan api ia lalu membentuknya dengan tangannya" (Peraturen
dan Jhonson, : ).
Dapat dipahami betapa pentingnya alat-alat pertanian untuk bertanian pada
waktu itu. Apalagi pada masa itu merupakan masa-masa yang sulit untuk
mendapatkan peralatan tersebut mengingat belum begitu majunya teknologi. Justru
itu raja sangat sayang pada Daeng Mela.
"Raja sangat sayang pada Daeng Mela alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga
pada masa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada disekitarnya"
(Peraturen dan Jhonson, : ).
Dengan kepandaiannya menempa alat-alat pertanian raja sangat sayang
kepada Daeng Mela. Tidak hanya sampai di situ raia, raja PWI merestui perkawinan
Daeng Mela dengan adik perempuannya yang bernama Lenggana. Kemudian Daeng
Mela diberi marga Lubis sesuai dengan adat yang berlaku di Tapanuli Selatan,
namanya menjadi Na Mora Pande Bosi Lubis.
Pesta perkawinan mereka berlangsung cukup lama dan waktu itu Na Mora
Pande Bosi Lubis hanya memberi tiga helai kain tenunan petani sebagai maharnya
(ganti emas).
"Pada perkawinan itu Na Mora Pnde Bosi Lubis tidak mempunyai emas
sebagai maharnya, dan sebagai gantinya diserahkanlah tiga helai tenunan
petani ...pada perkawinan itu dilaksanakan di rumah raja di Parmiakan dan
berlangsung selama satu bulan lamanya" (Peraturen dan Jhonson, :
).
Padang si Genduk, tor Simulak-mulak anjing, dan hananya Jonggi adalah
tempat perburuhan bagi Na Mora Pande Bosi Lubis. Suatu saat dimana dia
dipermainkan oleh seorang putri bunian,
"Demikianlah hari itu setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke
tanah. Tetapi setelah dicarinya burung itu tidak pernah berjumpa, sampai
burung ke enam" (Perahuen dan Jhonson, :).
Kemudian dalam cerita ini suatu latar tempat seorang putri bunian tinggal,
dimana Na Mora Pande Bosi Lubis terperdaya untuk tinggal di tempat itu dalam
waktu yang agak lama.
"Tiga bulan sudah berlalu Na Mora Pande Bosi Lubis tidak pulang ke
rumahnya, dan dia pun telah memperistri putri bunian yang cantik itu"
(Peraturen dan Jhonson, :).
Dari peristiwa tersebut di kerajaan Hatongga, istri Na Mora Pande Bosi itu
menjadi sangat cemas, kemudian raja memerintahkan untuk gong sakti agar Na
Mora Pande Bosi Lubis segera pulang ke rumahnya. Akhirnya. setelah lelah mencari
tidak juga bersua, raja memerintahkan untuk memalu gong sakti untuk
memanggilnya" (Peraturen dan Jhonson, :).
Istri Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di negeri bunian melahirkan anak
kembar. Setelah besar kedua anak kembar itu pergi mencari ayahnya. Suasana
dalam rumah tangga Na Mora Pande Bosi Lubis atas kedatangan anak tadi, pada
mulanya berjalan dengan tenang.
"Kedua anak itu pun tinggalah bersamanya dan kalau dulunya hanya dua
orang anaknya sekarang sudah bertambah dua orang lagi, setiap harinya
mereka membantu di ladang dan mereka hidup bahagia" (Peraturen dan
Jhonson, :).
Kebahagiaan itu tidak bertahan lama, situasi kacau balau dalam keluarganya.
"Terjadilah perkelahian antaraa Sutan Bugis dengan Si Langkitang .Tetapi
dalam perkelahian itu Sutan Bugis kalah, ia menderita luka-luka. Ibunya
sangat sedih ..." (Perahuen dan Jhonson, : ).
Satu lagi latar belakang tempat kedua anak putri bunian mengucapkan
sumpah kebenciannya kepada sutan Bugis, setelah mereka berdua diusir dari
rumahnya oleh ibu Sutan Bugis.
"Demikianlah mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu
tebing ke tebing lain, dari tebing yang sangat tinggi mereka melihat ke
bawah, tebing yang bernama Singengu lebih ataslah Hatongga ...Dengan
suasana yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah: Hai
keturunan ..." (Peraturen dan Jhonson,:).
. Perwatakan
Berbicara tentang penyatakan berarti harus berbicara dengan tokoh dan
tingkah lakunya dan sifat-sifatnya dalam suatu cerita.
Di dalam cerita Na Mora Pande Bosi Lubis terdapat beberapa orang tokoh
yang akan diuraikan satu persatu. Mereka itu adalah Daeng Mela yang kemudian
diberi nama Na Mora Pande Bosi Lubis, Lenggana, Sutan Bugis, Si Langkitang, Putri
paman, Sutan Berayun dan raja Hatongga.
Na Mora Pande Bosi Lubis dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau
sebagai tokoh utama dalam cerita ini. Dari awal cerita sampai akhir, namanya paling
sering disebut, bahkan untuk mengetahui jalan cerita. ini sama halnya dengan
mengikuti atau menelusuri perkembangan tokoh ini. Hanya saja pada akhir cerita
kedudukan tokoh ini digantikan oleh anaknya Sutan Bugis.
Na Mora Pande Bosi Lubis adalah seorang pejuang (pahlawan) pada masa
kedatangan dan kedudukan Portugis di Malaka. Sebagai seorang bekas pejuang dia
memiliki keberanian seperti berburu ke hutan ke suatu tempat yang jauh dari
Labuhan. Ruku, bahkan sampai ke negeri Barus. Dia tidak gentar menghadapi apa
yang terjadi ketika sedang berburu.
"Jarak yang begitu jauh, lautan yang hendak dilalui begitu luas dan sudah
dikuasai pula oleh Portugis hingga Daeng Mela terpaksa memutuskan memilih
jalan damai.Dia memulai perjanannyaa dari Labuhan Ruku ke negeri Barus"
(Peraturen dan Jhonson, : ).
"Daerah pemburuannya ialah ke padang Sigenduk, tor Simulak-mulak anjing
dan Hananya Jonggi" (Peraturen dan Jhonson, : ).
"Setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke tanah ...namun burung
itu tidak dijumpainya di tanah ...lalu dia pun berkata "Siapa yang berani
mengambil undanku, berani mengambil hasil sumpitanku keluarlah !!!!!
(peraturen dan Jhonson, : )
Daeng Mela adalah seorang yang mempunyai kelebihan dari yang lain,
terbukti dia dapat menempa alat-alat pertanian secara praktis dan ajaib.
"Ia membuat cangkul, kampak, bajak, tombak, pedang dan alat-alat
pertanian serta alat-alat perang dalam sekejab saja caranya setelah besi
dibakarnya dengan api dia laIu membentuknya dengan tangannya. Ia tidak
mempergunakan alat (Perahturen dan Jhonson, :),
Sebagai seorang pendatang baru di kerajaan Hatongga dan ia berasal dan
daerah yang berbeda, Na Mora Pande Bosi Lubis termasuk orang yang pandai
beradaptasi.
Ia sangat disenangi oleh raja Hatongga dan seluruh masyarakatnya
"Raja sangat sayang pada Daeng Mela alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga
pada masa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada disekitarnya.
Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya dia
dinikahkan dengan adik perempuan raja atau iboto raja" (Peraturen dan
Jhonson, :).
Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan Na Mora pande Bosi Lubis,
di samping mempunyai kelebihan juga memiliki kelemahan-kelemahan. Ia dapat
diperdaya putri bunian, begitu juga ketika anak-anaknya berkelahi dia tidak dapat
mengatasinya, akhirnya kedua anaknya harus pergi.
"Karena terpesona akan kecantikan paras putri bunian itu dengan tiada
disadarinya diikutkannyalah putri bunian itu sampai ke tempat tinggalnya"
(Peraturen dan Jhonson, : ).
"Untuk menjaga suasana damai, berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis
supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga Hal ini
disetujui oleh Na Mora Pande Bosi Lubis" (Peraturen dan Jhonson, : )
Lenggana adalah tokoh yang bertindak sebagai istri Na Mora Pande Bosi
Lubis. Dia adalah seorang istri yang mencintai suaminya Ketika suaminya tidak
pulang ke rumah, akibat godaan putri bunian, dia merasa cemas dan segera melapor
kepada raja supaya cepat dicari. Begitu juga terhadap anak dia penuh dengan kasih
sayang, dan selalu memberi nasehat. Bahkan kedua anak dari putri bunian juga
diterima dan diperlakukan sebagai anak sendiri. Akhirnya memang kedua anak itu
disuruh pergi) tetapi sebagai tanda kasih sayang terhadap anak, mereka memberi
peralatan untuk menjaga diri dan mencari makan.
"Hal ini sangat mengkhawatirkan istri Na Mora Pande Bosi Lubis. Ia melapor
pada raja. Raja pun memerintahkan semua Orang mencari Na Mora Pande
Bosi" (Peraturen dan Jhonson) : )
"... Berangkatlah kedua anak itu dengan dibekali tombak yang gunanya untuk
menjaga diri, tanduk serunai bila mereka berpisah di dalam hutan, sumpit
untuk menyumpit makanan mereka" (Peraturen dan Jhonson) :).
Raja Halongga seorang raja yang berkuasa pada saat itu di kerajaan
Halongga. Dia termasuk orang yang terbuka sifatnya dan sangat mengagumi
seseorang yang ahli seperti Na Mora Pande Bosi Lubis seorang pandai besi yang
dapat menempa berbagai macam alat pertanian dan alat perang.
"Raja pun takjub serta heran melihat Daeng Mela Setelah hal tersebut Daeng
Mela dinamai Orang kampung Hatongga Na Pande Bosi') (Peraturen dari
Jhonson, :).
Tokoh lain yaitu Sutan Bugis (anak dari Na Mora Pande Bosi Lubis), adalah
seorang anak yang sangat mencintai putri pamannya sehingga dia rela meneteskan
darah karena sering berkelahi dengan Si Langkitang agar putri pamannya tidak lepas
dari genggamannya.
" ...Sampai pada suatu ketika terjadilah hal yang tidak disangka-sangka
karena perebutan putri Hatongga mempunyai seseorag gadis yang sangat
cantik”
" ...Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dan Si Langkitang. Tapi dalam
perkelahian ini Sutan Bugis kalah, dia menderita luka-luka” (Peraturan dan
Jhonson : ).
Si Langkitang adalah seorang tokoh yang berani dan kuat. Bersama
saudaranya dan mencari ayahnya, tanpa memperdulikan bahaya dan resiko di
tengah perjalanan yang begitu jauh, begitu juga dengan perkelahiannya dengan
Sutan Bugis, dia selalu menang. Di samping itu dia memiliki sifat dendam yang
begitu dalam dengan menyumpah keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis agar punah,
“......Dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke
bawah, Hai...... keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu
Hatongga ... punahlah ...') (Peraturen dan Jhonson, : ).
Putri paman adalah seorang gadis yang cantik yang tidak memiliki pendirian
yang menetap, terbukti dia mengalihkan cintanya kepada Si Lengkitang yang
kebetulan lebih ganteng dari Sutan bugis.
BAB IV
Kesimpulan
. Kesimpulan
Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah cerita rakyat berasal dari Tapanuli
Selatan, mengisahkan perjalanan hidup seorang bugis yang diangkat menjadi bagian
dari masyarakat setempat karena telah menikah dengan saudara kandung raja.
Cerita ini mempunyai struktur konvensional sebagai ciri-ciri dari cerita rakyat. Hal ini
dapat dilihat dari Tema, alur, latar dan karakter saling mendukung dan mengikat
satu dengan yang lainnya. Keterpaduan unsur–unsur
pembentuk tersebut
menjadikan cerita tersebut rnudah dimengerti oleh masyarakat luas.
Tema cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah kasih sayang orang tua yang
berpihak akan merusak hubungan anak. Tema ini dapat disimpulkan dengan cara
menganalisa alur cerita tersebut dimana klimaksnya berada pada keperpihakan kasih
sayang orang tua.
Alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengikuti pola alur maju dimana
perkenalan, konflik, konflik mulai mernuncak, klimaks dan penyelesaian uraikan
secara bertahap sampai akhir cerita.
Latar atau setting cerita Na Mor Pande Bosi mengungkapkan Suatu tempat
dan waktu yang ada di Tapanuli Selatan seperti Pardomuan, Lobu Hatongga, dan
Padang Sidernpuan serta waktu kejadian-kejadian yang berlaku pada masyarakat
setempat.
Perwatakan cerita mengungkapkan tokoh protagonis dan Antagonis serta
mengungkapkan sifat-sifat dari semua tokoh yang terdapat pada cerita tersebut.
.. Saran
Diharapkan kepada seluruh masyarakat diharapkan dapat berpatisipasi dalam
hal penggalian, pembinaan dan pendokurmntasian hasil karya sastra daerah agar
keberadaannya dapat diwakilkan kepada generasi yang akan datang.
Daftar Pustaka
Aruan, Stephanus, . Turi–turian Ni Halak batak, Sipoholon
Danandjaya, James. . Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti Press
Erfina, Ririen. . Aji Pamasa dan Aji panurat. Medan: firma Maju
Esten, Mursal.
Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen pendidikan dan
Kebudayaan.
Poerwadaminta ,W.J.S, . Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan da Kebudayaan.
Semi, Atar,. Anatomi Sastra. Padang : Angkasa Raya
Shangti, Batara..Sejarah Batak Balige
Sidjabat, W.B . Ahu Sisingmangaraja. Jakarta: Sinar harapan
Sihombing, T.M., Jambar Hata. Jakarta: Tulus Jaya
Sudjiman, Panuti, . Kamus Leksikal Sastra. Jakarta: Gramedia
__________, . Apresiasi Kesusastraan . Jakarta: Gramedia
Tambunan, E.H.. Sekelumit mengenai Batak Toba dan kebudayaannya.
Bandung: Tarsito.
Teeuw, A . Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Usman, Zuber.. Kesusastraan Indonesia Lama. Jakarta : Gunung Agung
__________, . Ensiklopedia Umum Indonesia. Yogyakarta Kanisius
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini