Breaking News

Tokoh Barus: Syamsuddin al Sumatrani

Sebab, jauh sebelum 1920, tepatnya 1637, sastrawan besar Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Pasai al Sumatrani telah menghasilkan karya sastra yang "menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional".

Catt: Syamsuddin Pasai al Sumatrani lahir di Barus dan meninggal tahun 1690M

Setiap kali membaca buku sejarah sastra Indonesia, baik tulisan A Teeuw maupun Ajip Rosidi, terasa ada yang hilang, yakni sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Belum lagi kita menyinggung pengarang besar Mpu Kanwa yang menulis dalam bahasa Kawi Arjunawiwaha pada jaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan 12), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sanusi Pane pada 1948.

Atau karya besar Mpu Prapanca yang dibuat pada jaman Majapahit, tepatnya tahun 1365 (abad ke-14), Nagarakrtagama, yang dinilai sangat penting karena menguraikan riwayat Singhasari dan Majapahit dari sumber-sumber pertama, yang menurut arkeolog Soekmono, ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan.

Ada mata rantai yang terputus ketika para pengamat sastra Indonesia seperti A Teeuw, Ajip Rosidi, dan Umar Junus membuat titik awal kelahiran sastra Indonesia. Tampak bahwa ketiganya menggunakan tolok ukur "kesadaran kebangsaan" (istilah Ajip Rosidi) dan "bersifat nasional" (istilah Umar Junus) yang merupakan kriteria di luar wilayah sastra untuk dijadikan acuan dimulainya sejarah sastra Indonesia. Mereka tidak mempertimbangkan dan bahkan cenderung menafikan embrio yang melahirkan sastra Indonesia.

Ketika sekarang bangsa Indonesia mengakui bahwa candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 di jaman dinasti Syailendra sebagai anasir sejarah nasional Indonesia, kenapa karya-karya sastra pujangga-pujangga lama kita tidak diakui dalam sejarah sastra Indonesia?

Dalam hal ini persoalan bahasa sebagai media sastra bisa menimbulkan perdebatan. Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Hamzah Fansuri, Teungku Chik Pantee Kulu, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Haji Hasan Mustapa, Raja Ali Haji, Nuruddin Alraniry, dan sejumlah pujangga lainnya masing-masing menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa ibunya. Apabila pengarang-pengarang yang berdomisili di dalam wilayah Indonesia itu telah meninggal bersama bahasa ibu yang mereka gunakan, maka seyogyanya kita tidak begitu saja menafikan hasil karya mereka sebagai bagian dalam khasanah sastra Indonesia. Sama halnya dengan pengarang modern yang menulis dengan menggunakan bahasa ibunya, seperti Ajip Rosidi yang menggunakan bahasa Sunda dalam Jante Arkidam (1967) dan beberapa karya terbarunya.

Dalam tulisannya "Istilah dan Masa Waktu 'Sastra Melayu' dan 'Sastra Indonesia'" Umar Junus mengatakan, sastra ada sesudah bahasa ada.

Premis yang dimuat dalam Medan Ilmu Pengetahuan Juli 1960 itu bermakna sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada, yakni sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (lihat pula Sejarah Sastra Indonesia Abad XX E Ulrich Kratz, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, yang mengawali sejarah pemikiran sastra Indonesia pada hasil putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928).

Umar Junus tidak memasukkan karya-karya sastra yang terbit sebelum Sumpah Pemuda seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (Nur Sutan Iskandar, 1922), Muda Teruna (Muhammad Kasim, 1922), Tanah Air (Muhammad Yamin, 1922), Bebasari (Rustam Effendi, 1926), Pertemuan (Abas Dt Pamoentjak, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), dan Puspa Mega (Sanusi Pane, 1927) ke dalam golongan hasil sastra Indonesia, melainkan hanya menganggapnya sebagai hasil sastra Melayu baru atau modern.

Alasan yang dikemukakan Umar Junus, karya-karya itu bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu. Melihat tolok ukur Umar Junus yang menetapkan awal kelahiran sastra Indonesia sejak 1928 dan bersifat nasional, ada tiga titik kelemahan yang melekat padanya.

Pertama, Umar Junus menafikan unsur pengarang dan lebih menitikberatkan pada bahasanya. Padahal, tanpa pengarang, sastra tidak ada, dan pengarang bisa menggunakan bahasa apa saja dalam menghasilkan karya sastra, tidak harus dengan bahasa Indonesia.

Kedua, dengan menyebutkan sastra Indonesia bermula sejak 28 Oktober 1928, premis tersebut gugur dengan sendirinya karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Adinegoro, Muhammad Kasim, Nur Sutan Iskandar, Abas Dt Pamoentjak, Merari Siregar, dan Marah Rusli telah menulis jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, serta tidak ada yang menyangsikan/meragukan bahwa nama-nama tersebut merupakan sastrawan Indonesia tulen (lihat dua buku sederhana Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, Kompas, 2001, dan Bibliografi Sastra Indonesia, IndonesiaTera, 2001).

Belum lagi kalau kita bersikap jujur terhadap karya-karya sastra yang dihasilkan sastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa, seperti Allah jang Palsoe (1919) dan Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Tjhit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) (1886) dan Siti Akbari (1884) karya Lie Kim Hok, yang menurut Monique Zaini-Lajoubert, merupakan penjelmaan Syair Abdul Muluk (1847) karya Zaleha -- adik Raja Ali Haji.

Contoh lainnya Istri yang Dibeli (1922) dan Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng, penulis paling produktif pada jamannya. Ada pula Tjoema Boeat Satoe (1927) Ong Ping Lok, Boekoe Tjerita Resianja Goela-goela (1912) Tan Boen Kim, Soepardi dan Soendari (1925) Tan Hong Boen, Sair Oei-Se (1906) Thio Tjin Boen, Nona Tjoe Joe (1922) Tio Ie Soei, Satoe Djodo Jang Terhalang (1917) dan The Loan Eng (1922) karya Tjoe Bou San, mantan Pemimpin Redaksi Sin Po.

Ketiga, tentang "sifat nasional" dalam karya sastra yang sangat diagung-agungkan Umar Junus, yang kini menetap di Malaysia, justru menjadi bumerang yang dapat mengungkung kebebasan berekspresi sastrawan. Karena sastrawan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan apa saja. Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Pramudya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iwan Simatupang, atau Budi Darma dalam menghasilkan karya sastra tidak selalu dan tidak harus memaksakan diri untuk selalu "bersifat nasional".

Apakah Olenka Budi Darma bersifat "nasional"? Bagaimana pula dengan Pengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag, Sri Sumarah dan Bawuk Umar Kayam, dan Godlob Danarto? Saya yakin sastrawan besar tidak akan mau, bahkan tidak sudi, terkungkung dengan/oleh batasan apa pun, termasuk di dalamnya kungkungan berupa "sifat nasional" yang digagas Umar Junus dan "kesadaran kebangsaan" yang digagas Ajip Rosidi.

Ketika R Ng Ronggowarsito menulis sajak "Zaman Edan", yang merupakan fragmen dari Serat Kalatida (terbit pada tahun 1820-an) yang membuatnya masyhur sampai sekarang adalah lebih karena berisi pikiran-pikiran falsafah tentang perkembangan kemajuan manusia yang dituangkan dalam kata-kata... "Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliran wekasanipun, dilalah kersaning Allah. Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada".

Karya ini sudah diterjemahkan oleh sedikitnya tiga orang, yakni Slamet Sukirnanto dalam Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Ahmad Norma dalam Zaman Edan (Bentang, 1998), dan Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (Balai Pustaka, 1991).

Adapun terjemahan versi Kamajaya adalah, "Mengalami zaman edan, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tak tahan, kalau tidak ikut menggila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada".


Konsep yang menyebutkan sastra Indonesia harus bersifat nasional dan ber-kesadaran kebangsaan telah membuat pemikiran kita mandeg dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia.


Hampir senada dengan Umar Junus, Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964) menyatakan, sastra Indonesia lahir pada 1922. Tapi, menurut Ajip, bukan karena Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya lahir, melainkan karena pemuda-pemuda Indonesia seperti Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, dan Sanusi Pane mengumumkan sajak-sajak yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra.

Puisi-puisi lirik bertema cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah tidak kita jumpai dalam khasanah sastra Melayu. Ajip Rosidi menetapkan tahun 1922 sebagai tahun kelahiran sastra Indonesia karena bertepatan dengan terbitnya kumpulan sajak Tanah Air karya Muhammad Yamin.

Ajip Rosidi menambahkan, Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya tidak sesuai dengan sifat nasional karena yang menerbitkan kedua buku tersebut adalah Balai Pustaka (saat itu) yang menjadi organ kolonial Belanda.

Meskipun Ajip Rosidi memajukan sedikit tahun kelahiran sastra Indonesia dari angka tahun yang disebutkan Umar Junus, alasan yang dijadikan tolok ukur kelahiran sastra Indonesia juga tidak kuat. Jika "kesadaran kebangsaan" dijadikan ukuran, bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak menghiraukan "kesadaran kebangsaan", apakah tidak dianggap sebagai anak kandung sastra Indonesia?

Pada perkembangannya, memang ada yang setia pada tema kebangsaan sebagaimana yang diingini Ajip Rosidi, tapi lebih banyak yang mengangkat tema-tema kemanusiaan, keterasingan individu seperti dalam novel Iwan Simatupang, dan mengangkat masalah keagamaan seperti yang terbaca dalam karya-karya Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan A Mustofa Bisri.

Lantas mengenai penafian Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara yang hanya gara-gara diterbitkan oleh penerbit organ kolonial Balai Pustaka, itu merupakan pandangan yang sempit. Sebab hampir semua karya sastra Indonesia modern yang terbit pada masa sebelum kemerdekaan (1945) diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang disebut Ajip Rosidi sebagai "organ kolonial" itu.

Selain menerbitkan kedua buku di atas, Balai Pustaka juga menerbitkan Salah Asuhan (Abdul Muis), Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Kasih Tak Terlarai (Suman Hasibuan), Dian yang Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Kalau Tak Untung (Selasih), Ni Rawit Ceti Penjual Orang dan Sukreni Gadis Bali (AA Panji Tisna), Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), dan Andang Teruna (Sutomo Djauhar Arifin).

Rasanya sulit bagi Ajip Rosidi untuk tidak menerima karya sastra Indonesia yang diterbitkan oleh "organ kolonial" itu ke dalam khasanah sastra Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, maka gugurlah konsep kelahiran sastra Indonesia yang dikemukakan Umar Junus dan Ajip Rosidi.


Kritikus sastra Indonesia A Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia I (1980) mengatakan, sastra Indonesia lahir pada 1920.


Kita tahu bahwa pada 1920 belum ada Sumpah Pemuda (1928) dan belum pula Indonesia diproklamirkan (1945). Dengan demikian, belum ada konsep tentang Indonesia, meski sudah dipolemikkan pada 1930-an.

A Teeuw menyebutkan, pada ketika itulah (1920) para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional, dan mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua (lihat Sastra Baru Indonesia I, halaman 25). Benarkah demikian?

Sebab, jauh sebelum 1920, tepatnya 1637, sastrawan besar Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Pasai al Sumatrani telah menghasilkan karya sastra yang "menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional".

Pada 1637, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang terbit di Aceh telah dilarang dan dimusnahkan atas perintah Raja Aceh, Sultan Iskandar Tsani, berdasarkan fatwa ulama istana Aceh, Nuruddin Al Raniri, yang menyatakan ajaran tasawuf aliran wujudiyah sebagai ajaran atau aliran sesat.

Dalam buku yang sama, A Teeuw juga menyebutkan, kenapa sastra Indonesia lahir pada 1920, karena pada tahun-tahun itu para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Dan karena dilarang di bidang politik (oleh Kolonial Belanda), mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra bagi pemikiran, perasaan, emosi, dan cita-cita baru yang mulai mengalir dalam diri mereka (lihat halaman 18).

Dalam bukunya yang lain, Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994: 44-73), terutama dalam tulisan bertajuk "Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia", Teeuw mengakui adanya tiga corak pembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.

Pertama, individualitas, di mana puisi-puisinya tidak anonim. Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan syair. Ketiga, penggunaan bahasa yang sangat kreatif.

Penemuan A Teeuw di atas melemahkan sekaligus meruntuhkan premisnya sendiri, yang menyebutkan sastra Indonesia lahir 1920 dan mengakui Hamzah Fansuri sebagai pemula (pelopor) puisi Indonesia.

Kepenyairan Hamzah Fansuri juga menarik penelitian lebih mendalam. Seorang penyair sufi asal Madura, Abdul Hadi WM, dalam bukunya, Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung, Mizan: 1995) mengungkapkan, di bidang sastra, Hamzah Fansuri mempelopori penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman atau sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad 17-18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kejeniusan dan kepiawaian Hamzah Fansuri.

Penyair Abdul Hadi juga mengakui, Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi 4 baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Hamzah Fansuri juga dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu yang diasaskan dalam sastra Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20 (sic!), khususnya di dalam karya penyair Pujangga Baru, Sanusi Pane dan Amir Hamzah.

Dari penjelasan singkat di atas, sudah waktunya dilakukan rekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Bukan hanya perlu, tapi menjadi satu kewajiban yang harus segera diwujudkan.

Kriteria "bersifat nasional" dan "kesadaran kebangsaan" yang dibuat Umar Junus dan Ajip Rosidi, yang menggunakan tataran nilai di luar wilayah sastra, memiliki banyak kelemahan dan sama sekali tidak mencerahkan. Sebaliknya, memasung pemikiran kita dengan pandangan yang sempit.

Kriteria yang digunakan A Teeuw justru dapat diterima, karena menggunakan ukuran-ukuran yang lazim di dunia sastra, yakni bentuk-bentuk sastra yang berbeda dengan bentuk sastra yang sudah ada, serta adanya kebaruan dalam karya sastra yang diciptakan.

Hanya saja, ketika Teeuw menjatuhkan vonis bahwa awal kelahiran sastra Indonesia pada 1920, kita meragukannya. Benarkah demikian? Temuan-temuan Teeuw dan Abdul Hadi menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri (yang lahir jauh sebelum 1920)sangat layak disebut sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia.

Tapi, persoalan sejarah sastra Indonesia bukan persoalan siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri, tapi lebih diutamakan pada kejujuran para peniliti sastra Indonesia itu sendiri.

Kenapa kita dengan mudah mengakui tari Saman, candi Borobudur, candi Prambanan, dan patung Asmat sebagai anasir sejarah kebudayaan Indonesia, sementara kita menutup mata pada Hang Tuah, Serat Centhini, La Galigo, Gatholoco, Babad Tanah Jawi, Nagarakrtagama, Arjunawiwaha, Serat Kalatida, Jaka Lodhang, Wulang Reh, Suluk Seh Siti Jenar, Suluk Seh Ngabdul Salam, Panitisastra, Babad Jaka Tingkir, Cemporet, dan sebagainya sebagai bagian dari khasanah sastra Indonesia?

La Galigo, misalnya, yang baru dikodifikasi dan dikumpulkan dari para penutur lisan di akhir abad ke-19, diyakini merupakan karya sastra terpanjang di dunia. Tak kurang dari 300 ribu stanza -- bandingkan dengan Mahabarata yang panjangnya 100 ribu stanza saja. Karya itu begitu indah bila dibaca dalam tulisan aslinya yang berbahasa Bugis kuno, dengan menggunakan aksara lontarak. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam dua jilid, masing-masing lebih dari seribu halaman.

Jika sejarah Indonesia mengakui bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh sembilan wali (walisongo), kenapa kita tidak jujur mengakui bahwa beberapa tahun setelah itu muncul Suluk Seh Siti Jenar?

Suluk Seh Siti Jenar yang terbit pada abad 18 itu telah dilarang raja dan sudah dimusnahkan, karena dinilai mengandung ajaran sesat. Padahal, buku yang meng-counter hal itu pun sudah ada, yakni Suluk Seh Ngabdul Salam. Pantaskah melihat sastra hanya dengan kacamata politik?

Apakah kita masih percaya pada mitos "nenek moyangku seorang pelaut"? Kenapa kita menutup mata pada nenek moyang bangsa Indonesia yang bernama Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Empu Kanwa, dan deretan panjang nama-nama pujangga besar yang sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Leiden, Belanda?

Apakah kita tidak merasa dirampok ketika kolonial Belanda memboyong berton- ton karya sastra Indonesia lama, cikal-bakal sastra Indonesia modern?

Terlepas dari hal itu, kita wajib belajar dari sejarah sastra Prancis yang sudah berjalan berabad-abad, sejak abad pertengahan (Moyen Age, abad ke-11) hingga Alain Robbe-Grillet (abad ke-20). Pada abad pertengahan di Prancis, penulisan sejarah sastra Prancis juga dimulai dengan kehidupan di sekitar raja-raja.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya perjalanan sejarah sastra Indonesia pun sudah berabad-abad. Hanya saja, kita tidak pernah jujur dan tidak menghargai hasil kerja nenek moyang kita yang pujangga. Bangunan pemikiran para empu atau katakanlah juru tulis kerajaan tertutup kabut ketidakjujuran kita sendiri.


Selanjutnya

Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini