Guru Patimpus dohot Huta Medan
Guru Patimpus adalah keturunan Raja Sisingamangaraja yang memerintah Negeri Bakkara di Dataran Tinggi Karo. Dia adalah seorang pemeluk agama perbegu (animisme) yang kemudian menjadi seorang Muslim. Patimpus menikah dengan seorang putri Raja Pulo Brayan dan mempunyai dua anak lelaki, masing-masing bernama Kolok dan Kecik.
Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan."
Sejarah Medan, Sejarah Multikebudayaan
Badan Warisan Sumatera
Kompas/arbain rambey
MENENGOK Medan tempo dulu, kita harus melihat cerita awal Kesultanan Deli dan tentu saja Kota Medan itu sendiri.Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.
Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.
Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.
Dalam Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru).
Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.
Ini adalah versi pertama sejarah Medan. Artinya, tahun 1590 dianggap sebagai salah satu tonggak kelahiran kota ini.
***
DALAM Riwayat Hamparan Perak yang dokumen aslinya ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu, tercatat Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai yang pertama kali membuka "desa" yang diberi nama Medan.
Namun, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar ketika terjadi "kerusuhan" sosial, tepatnya tanggal 4 Maret 1946.
Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di Kampung Pekan (Pakan). Ia menolak menggantikan ayahnya dan lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistik, sehingga akhirnya dikenal sebagai Guru Patimpus.
Antara tahun 1614-1630 Masehi, ia belajar agama Islam dan diislamkan oleh Datuk Kota Bangun, setelah kalah dalam adu kesaktian.
Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karena itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan.
Versi lain sejarah Kota Medan ini hanya melahirkan ketokohan Guru Patimpus dalam berdirinya Kota Medan. Versi ini tidak menghasilkan sebuah tanggal atau tahun.
***
MENURUT Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang.
Tidak lama sesudah ia datang di Aceh, Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan tujuh laki-laki dari Kekaisaran Romawi Timur yang membikin kekacauan. Dalik berhasil membunuh para pengacau tersebut satu persatu.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya membunuh para pengacau tersebut, Sultan memberinya gelar Laksamana Kud Bintan dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai keberhasilannya dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai Gocah Pahlawan, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh.
Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bagian dari Kesultanan Aceh.
Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M.
Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka.
Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam "Daghregister" VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.
***
BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.
Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.
Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.
Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.
Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama "Komisi Pengelola Dana Kotamadya", yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan "Decentralisatie Wet Stbl 1903 No 329", lembaga lain dibentuk yaitu "Afdeelingsraad Van Deli" (Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika "Cultuuraad" (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota.
Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.
Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang.
Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.
***
MELIHAT sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa.
Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras dan etnis di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan. (Ardhian Novianto)
Di Balik Monumen Guru Patimpus
WASPADA Online
Oleh Muhammad TWH
Seorang pelukis akan mengalami kesulitan yang tinggi untuk membuat patung seorang tokoh yang hidup lebih dari empat abad lalu. Mau tidak mau si pelukis harus mencari dan menemui keturunannya untuk melihat garis–garis wajah mereka, dan mempelajari watak dan jalan sejarah yang pernah dilakukan oleh tokoh itu seperti ketekunan belajar dan memandang jauh ke depan. Berdasarkan hal itu pelukis Arry Darma bergerak membuat patung Guru Patimpus.
Setelah mempelajari dan mengumpulkan bahan–bahan dari keturunan Guru Patimpus marga Sembiring Pelawi, pelukis membuat sket wajah Guru Patimpus di atas kertas. Setelah diperoleh kesepakatan dari pihak keturunan Guru Patimpus dan Lembaga Permusyawaratan Kebudayaan Karo, maka untuk wajah Guru Patimpus diambillah wajah Datok Sjariful Azaz Haberham keturunan ke 13 ayahanda Datuk Adil keturunan ke 14 Guru Patimpus. Kemudian dipindahkan menjadi patung. Dan patung Monumen Guru Patimpus yang berdiri dengan megahnya di Bundaran Petisah, Rabu 23 Maret 2005 telah diserahkan oleh panitia kepada Walikota Medan sekaligus meresmikan Monumen Patung Guru Patimpus Sembiring Pelawi itu.
Panitia Sejarah
Kalau kita bicara Guru Patimpus orang pertama yang membuka Kampung Medan di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, rasanya kurang sempurna kalau kita tidak bicara siapa yang menemukan Guru Patimpus dan 1 Juli 1590 sebagai titik tolak hari jadi kota Medan.
Berhasilnya diketemukan hari bersejarah dan pelakunya Guru Patimpus adalah berkat usaha dan kerja keras Panitia Sejarah Kota Medan. Panitia ini dibentuk berdasarkan keputusan Walikota Medan Drs. Syurkani 25 Mei 1971 No. 342. Panitia itu adalah : Prof. Mahadi, SH (ketua), Syahruddin Siwan, MA (sekretaris), Letkol Nas Sebayang (anggota), Ny. Mariam Darus, SH (anggota), Tengku Luckman Sinar, SH (anggota), M. Abduh, SH (anggota), M. Solly Lubis, SH (anggota), Miharza, SH (anggota), H. Mohd Said (anggota), Dada Meurasa (anggota), Nasir Tim Sutannaga (anggota).
Tokoh–tokoh inilah yang mengkaji dan menelaah berbagai bahan sejarah sehingga diketemulah Guru Patimpus sebagai orang pertama membuka Kampung Medan. Pada 12 Agustus 1972 Panitia Penyunan Sejarah Kota Medan berhasil mengambil keputusannya bahwa Guru Patimpuslah yang membuka Kampung Medan. Pada 10 September 1973, DPRD Kota Medan dalam rapat plenonya membicarakan hari jadi Kota Medan dan menerima keputusan yang diambil oleh Panitia Sejarah Kota Medan itu.
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu. Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan.
Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur'an
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal AlQur'an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung : Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah : Sisingamangaraja, Tuan si Raja Hita, Guru Patimpus, Datuk Hafiz Muda, Datuk Muhammad Syah Darat, Datuk Mahmud, Datuk Ali, Banu Hasim, Sultan Seru Ahmad, Datuk Adil, Datuk Gombak, Datuk Hafiz Harberhan, dan Datuk Syariful Azas Haberham.
Peristiwa Apa Di Balik Monumen Itu?
Dengan demikian jelaslah siapa Guru Patimpus dan para keturunanya. Orang pertama yang membuka Kota Medan, yang monumen Patung Guru Patimpus Sembiring Meliala telah diresmikan 23 Maret 2005. Mengingat begitu besar jasa Guru Patimpus membuka Kota Medan, maka wajar kalau Gubsu H.T. Rizal Nurdin merasa Monumen Guru Patimpus itu masih kecil seharusnya bisa melewati bangunan–bangunan berlantai III di Petisah itu. Tapi Gubsu maklum karena pembangunan monument itu adalah hasil swadaya terutama masyarakat Karo. Kalau Walikota Medan telah menyatakan Monumen Patung Guru Patimpus akan dimasukkan ke dalam agenda "City Tour", maka perlu dipersiapkan buku kecil dalam bahasa Indonesia dan Inggris mengenai sejarah Guru Patimpus orang pertama membuka Medan.
Bukan hanya Monumen Guru Patimpus perlu dibuat buku kecil, juga monumen–monumen bersejarah lainnya dalam Kota Medan, seperti monumen Perjuangan Kemerdekaan di lapangan Merdeka, Tugu Pahlawan Medan Area di Jalan Bali (Jl. Veteran), Tugu Juang 45 di Jalan Serdang dan lain–lain. Masyarakat dalam dan luar negeri jangan hanya melihat monumennya saja, tetapi mereka juga ingin tahu peristiwa apa yang terjadi sehingga dibangun monumen itu.
Mudah-mudahan Pemko Medan dan DPRD Kota Medan memberi perhatian ke arah ini dalam rangka melestarikan sejarah. Kami yakin dan percaya Legiun Veteran RI Sumatera Utara/DHD 45 Sumatera serta ahli-ahli sejarah akan memberi kontribusinya ke arah itu.
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini