Bernaridho I Hutabarat: Setelah Java kini ada Batak
Bahasa pemrograman adalah bahasa buatan manusia yang ditujukan untuk memberi instruksi kepada komputer. Bahasa pemrograman memungkinkan manusia membuat baris-baris program yang bisa dimengerti komputer, sehingga mengeluarkan output seperti yang diinginkan.
Bahasa Batak adalah buah kreativitas Bernaridho I Hutabarat (Ridho). Pria kelahiran Medan, 39 tahun lalu ini menceritakan pengalamannya mengembangkan bahasa yang harapannya bisa mempermudah proses belajar pemrograman.
"Batak lebih mudah dipelajari daripada C++, C#, dan Java. Batak memudahkan pemahaman modul dan pemrograman moduler, hal yang sangat sulit dipahami dari C++, C#, Java, JavaScript, XML, HTML, dan banyak bahasa pemrograman lain," tutur Ridho.
Dalam proses pengerjaannya, Ridho mengaku banyak menemui kesulitan teknis yang disebabkan minimnya ilmu yang diajarkan dalam membuat bahasa pemrograman. "Tidak pernah ada pelajaran membuat bahasa pemrograman. Ilmunya sulit untuk dipelajari secara otodidak, saya beli buku yang katanya paling bagus sekalipun tetap tidak membantu. Penjelasannya terlalu general," keluhnya.
Belum 100% Rampung
Bahasa Batak pun digarap dengan segala keterbatasan yang ada, baik dari segi tenaga, pikiran dan dana. Ridho mengaku mengembangkan bahasa tersebut sendirian, tanpa bantuan tim. "Dulu pernah ada yang mau bantu mengembangkan, tapi orangnya mundur karena bilang tidak bisa," ceritanya. Alhasil, bahasa Batak kini tidak bisa dikatakan rampung 100 persen.
"Saya sudah melewati proses deskripsi sintaks (perintah-red), dan sekarang ini baru sebatas parser, translatornya belum seluruhnya rampung," ujar Ridho.
Batak sebagai bahasa pemrograman yang utuh sudah rampung sejak tahun 2001. Tapi dalam tahapan ini, Batak baru bisa disebut sebagai parser yang fungsinya hanya sebatas menentukan apakah sintaks yang diinputkan benar atau salah. Namun Batak belum memiliki translator utuh, sehingga belum bisa menterjemahkan sintaks menjadi output yang diinginkan.
Ridho sendiri baru mengerjakan translatornya pada tahun 2005, tapi banyak ditinggalkan karena banyak menemui kesulitan. "Membuat translator ternyata jauh lebih sulit dari membuat bahasa pemrograman. Membuat translator itu seperti membuat mesin yang pada gilirannya untuk membuat mesin lagi," ujarnya.
Baru pada 1 April 2007, Batak memiliki translator meski masih dalam skala kecil. "Bisa dibilang ini (translator-red) baru lima persen," tutur Ridho.
Ridho bercerita pernah mencoba menyerahkan pembuatan translator ke pihak peneliti di AS. "Tapi biayanya mahal sekali berkisar US$10.000 - US$ 30.000 tergantung tipe translator yang diinginkan, apakah mau yang sederhana atau sampai yang mendukung GUI (Graphical User Interface-red). Saya tidak punya uang sebanyak itu," paparnya.
Ke depannya, Ridho ingin mewujudkan rencana sosialisasi bahasa buatannya, dan mewujudkan beberapa fasilitas pemrograman tambahan ke bahasa Batak, seperti penanganan aritmatika yang kompleks, operasi floating point, dan pemrograman moduler.
Saat ini, bahasa Batak bisa dijalankan di bawah sistem operasi DOS. Ridho juga ingin membuat translator Batak di Linux.