Monas atau Mobnas?
Abad ke-21 masuk tahun ke-10 alias dasawarsa. Enggak usah hitung sebelum tahun 2000 deh. Hitung aja dari 2000 sampai 2010 ini. Di Cina dan India alih teknologi industri roda dua sudah bisa dilakukan di tahun ke-10.
Contohnya tentu ada. Di tahun ke-10 Cina punya Jialing yang dasar teknologinya dari Honda atau Jincheng alih teknologi dari Yamaha. Begitu juga dengan India yang punya TVS dengan transfer ilmu motor bakar dari Suzuki.
Bahkan, kedua pabrikan besar di negara itu juga melakukan ekspansi ke Indonesia. Jincheng masuk ke Indonesia pada awal 2000. Walaupun kini keberadaannya sulit dilacak di sini.
Sedangkan, TVS melakukan penetrasi pasar di Indonesia sejak 2007 lalu. Bahkan, pabrikan asal India ini serius mengelola bisnis sepeda motor dengan membuat pabrikan mereka yang efisien di wilayah Kawasan Industri Karawang, Jawa Barat.
Bagaimana nasib monas atau motor nasional yang asli Indonesia? Tahun ke-10 di milenium ke-2 ini enggak jelas nasibnya. Ambil satu contoh produsen Kanzen.
Tahun ini Kanzen makin kritis, bahkan kabarnya malah lebih serius jadi suplier produksi tabung gas 3 kg. Produksi motor sementara sejak medio 2009 distop dan lebih banyak bikin tabung gas supaya karyawan bisa digaji.
Kanzen memang bukan murni produksi Indonesia karena banyak komponen diambil dari Cina, Taiwan, dan Korea. Mau ngambil produsen komponen di Indonesia ujung-ujungnya yang punya negara lain. Dari piston, klep, bearing, sampai ban punya negara lain yang pastinya lebih dari 50 persen keuntungan perusahan lari ke negara pemilik modal.
Bagaimana dengan industri motor di Indonesia? Wah... Rasa-rasanya masih jauh dari yang namanya alih teknologi. Sebab, industri roda dua Indonesia kepemilikan saham mayoritas punya bangsa lain. Indonesia hanya sebagai konsumen.
Membangun industri motor memang tidak mudah. Pertanyaannya, apakah penting Indonesia memiliki sebuah industri motor sendiri? Ini jika dikaitkan dengan berbagai aspek. Yakni aspek ekonomi, politik juga nasionalisme.
Seorang mantan petinggi produsen motor mengungkapkan, membangun sebuah industri otomotif tidak hanya cukup dengan semangat nasionalisme buta. Yang penting punya merek sendiri.
“Coba hitung plus dan minusnya membangun merek sendiri di tengah para produsen yang telah puluhan tahun berkutat di bidang itu,” bilangnya.
Apalagi jika dikaitkan dengan Indonesia belum punya teknologi itu. “Terus terang saja Indonesia belum memiliki kompentensi itu. Selain akan menyedot biaya yang sangat besar, ini pun belum tentu juga akan berhasil,” paparnya.
Dengan kondisi seperti ini, sangat realistis, jika tidak ada kalangan industri di Indonesia yang masuk ke dalam industri motor sekarang ini.
Yamaha, Suzuki, dan Kawasaki modalnya sudah punya pemilik merek. Artinya, keuntungan tiap tahun pasti lebih banyak dinikmati negara asal tiga merek. Sisanya tinggal Honda yang sahamnya masih milik Astra secara berimbang alias tidak mayoritas Jepun.
Berarti tinggal Honda yang masih ada setengah kulit sawo matang alias milik Merah Putih. Ini pun tetap kejadian kalau keuntungan besar produsen asalnya.
Indonesia masih bisa memetik keuntungan dengan menjadi tuan rumah untuk industri penyokong dunia otomotif. “Kita masih bisa mengambil ‘keuntungan’ dengan menjadikan industri lokal sebagai penyuplai kepada merek Jepang itu,” urainya.
Itulah pentingnya, regulasi pemerintah untuk menjaga industri penyokong khusus dunia otomotif. Aturan yang mewajibkan industri otomotif nasional untuk memenuhi unsur kandungan lokal pada setiap produk mereka merupakan salah satu cara agar Industri lokal tetap berkembang.
“Tentu dengan kondisi ini, kita perlu realistis juga untuk membuat industri motor nasional. Apalagi sebenarnya industri motor ini bisa dilakukan melalui multisourcing,” jelasnya.
Dengan memperkuat industri itu, manfaat yang didapat yakni berkembangnya industri rumahan yang bisa ikut menyokong.
“Tentu banyak sekali tenaga kerja yang terserap lewat industri turunan ini. Sehingga, manfaat ekonomi yang didapat seperti trickle down effect atau bisa dinikmati secara langsung oleh masyarakat Indonesia,” bilangnya.
Walaupun tetap masih ada juga industri penyokong yang bermerek non lokal. Contoh penggunaan komponen seperti karburator Keihin atau Mikuni. Buat uji dan tes penyesuaian dengan mesin di produk motor massal pabrikan Jepang di Indonesia, mereka mesti bayar lebih milyaran ke produsen Keihin atau Mikuni di Jepang sono.
Artinya, bangsa ini memang kudu berhitung dan membayar lagi dari penggunaan komponen berlabel non motor nasional per tipe - per tahun ke produsen pemilik merek?
Bandingkan dengan jumlah pemasukan per tipe dan per tahun dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Pertambahan Nilai untuk Indonesia sendiri. Jangan-jangan kangtaw lebih banyak dinikmati produsen asal merek motor berada.