Breaking News

Harmoni Natal di Sipirok


Harmoni Natal di Sipirok
PULUHAN warga Muslim dan Kristen di Kelurahan Bungabondar, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, bahu- membahu menyiapkan perayaan Natal pada 23 Desember 2004. Sore itu Ustadz MT Lubis, yang memakai peci haji, memotong kerbau di halaman Gereja Kristen Protestan Angkola Bungabondar untuk jamuan Natal.

Sekat-sekat agama tak tampak lagi di warga desa yang diapit Gunung Tapulonanjing, Simonangmonang, dan Lubukraya itu. Mereka membaur untuk menyiapkan pesta Natal.
"Pada hari raya, masyarakat bahu-membahu menyiapkan pesta, saling mengunjungi dan memberi makanan. Umat Muslim mengirimkan makanan dan kue-kue saat Lebaran, dan umat Kristen akan melakukan hal serupa saat Natal dan Tahun Baru," kata Pendeta (Pdt) Pinda Hamongan Harahap, pemimpin Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) Bungabondar.

Pernyataan Pdt Pinda tersebut dibenarkan oleh sejumlah tokoh Muslim di Bungabondar. Muhammad Taris Siregar, tokoh Muslim Bungabondar, mengatakan, "Untuk urusan ibadah, kami tidak saling mencampuri, tetapi untuk menyiapkan pesta dan meramaikannya, kami lakukan bersama- sama," katanya.

Andi Stefanus Harahap (18), putra Pdt Pinda, mengaku selalu ikut menyiapkan takbiran, dan malam menjelang Lebaran dia ikut berkeliling kampung meneriakkan takbir dan menabuh bambu serta beduk. Demikian sebaliknya, pada saat Natal naposo atau Natal untuk muda-mudi, anak-anak muda dari kalangan Muslim membantu menyiapkan Natal. Pada saat kebaktian, mereka juga datang untuk meramaikan.

"Saat kebaktian, teman-teman Muslim itu kebanyakan memang hanya mengikuti dari luar gereja dan melihat kami beribadah, tetapi ada juga yang ikut masuk ke dalam gereja. Prinsipnya, mereka ingin ikut meramaikan sebagaimana kami juga ikut meramaikan saat hari raya Lebaran," katanya.

Muhammad Taris Siregar mengatakan, masjid bukan hanya milik kaum Muslim, dan gereja bukan hanya milik umat Kristiani. Pintu kedua tempat ibadah itu terbuka bagi seluruh warga desa.

"Bagaimana kami bisa mengklaim masjid hanya milik kaum Muslim karena kami saling membantu mendirikan tempat ibadah itu. Seluruh warga ikut mencari batu dan pasir dari sungai saat membangun masjid dan gereja di Bungabondar. Dana pembangunan tempat ibadah juga banyak berasal dari sumbangan warga Bungabondar yang merantau di luar daerah. Dana itu dikumpulkan oleh ketua adat, kemudian disalurkan secara adil untuk membiayai pembangunan atau perbaikan kedua tempat ibadah," katanya.

Gambaran lain tentang harmoni di Sipirok bisa dilihat saat pesta perkawinan dan kematian. Bagi masyarakat Sipirok, kedua peristiwa tersebut tidak boleh dilewatkan oleh seluruh warga. "Semua warga harus ikut membantu menyiapkan pesta perkawinan dan kematian. Walaupun saya Kristen, saya berkali-kali memimpin doa saat penguburan warga. Beberapa di antara mereka adalah para haji," kata Baginda Hasudungan.

Di Sipirok juga didirikan Yayasan Ampera yang memberikan beasiswa kepada sekitar 400 anak yatim piatu dan santunan kepada janda. Yayasan itu diprakarsai oleh almarhum MD Siregar, seorang warga Sipirok yang merantau di Surabaya. "Yayasan ini memberikan bantuan dengan tanpa membedakan agama. Siapa yang membutuhkan akan dibantu," kata Baginda Hasudungan, yang menjadi Bendahara Yayasan Ampera Cabang Sipirok.

Tradisi harmoni antarumat beragama di Sipirok juga telah memberikan dampak positif yang nyata bagi para petani. Mereka mempraktikkan harmoni antarumat beragama dengan melakukan tradisi gotong royong dalam menggarap sawah. "Kami saling bergantian mengerjakan sawah milik sesama petani. Tak ada pandang bulu dan batas agama, siapa pun yang butuh bantuan mengerjakan sawah atau ladang akan kami bantu," kata Sutan Siagian (42), petani dari Bungabondar.

HARMONI di Sipirok telah ada jauh sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke desa yang sekarang dihuni 242 keluarga itu. "Sejak semula kami memegang teguh adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami jauh sebelum masuknya agama Islam dan Kristen. Agama tidak boleh memecah belah kesatuan dan adat. Bukankah ajaran agama sendiri mengajarkan agar kita saling menjaga hubungan baik dengan sesama?" kata Parningotan Siregar, yang bergelar Baginda Hasudungan, Ketua Adat Sipirok yang tinggal di Bungabondar.

Sipirok tercatat pernah menjadi basis penyebaran agama Islam oleh kaum Padri dari Minangkabau selama tahun 1816-1833. Tuanku Rao, salah satu panglima pasukan Padri, menjadikan Sipirok sebagai markas besar pasukannya dalam menguasai Mandailing.
Setelah kepergian kaum Padri, Sipirok juga tercatat sebagai titik awal penyebaran agama Kristen oleh sejumlah zending Jerman dan Belanda. Pada tahun 1857 Sipirok telah menjadi pangkalan Zending Eermeloo yang dipelopori oleh Van Asselt, seorang zending Belanda.
Sekitar sebelas tahun kemudian Van Asselt akhirnya berhasil membaptis Main Tampubolon dari Parausorat dengan nama baptisan Jacobus dan Pagar Siregar dari Bungabondar dengan nama baptisan Simon Petrus. Menurut Ketua Majelis Pendeta GKPA se-Indonesia JP Matondang, kedua orang itu adalah baptisan pertama di Tanah Batak, atau setidak-tidaknya di Tanah Batak Angkola.

Kedua agama yang masuk ke Sipirok hampir beriringan tersebut diterima masyarakat dengan terbuka. "Sebelum masuknya kedua agama tersebut, sebagian warga telah memeluk agama tradisional dan adat istiadat. Dan adat itulah yang kami pelihara sebagai pengikat seluruh warga. Sedangkan agama adalah kesadaran dan pilihan yang didasari keyakinan. Bisa saja di sini satu rumah ada dua pemeluk agama, tetapi tidak pernah ada masalah," kata Baginda Hasudungan. Baginda Hasudungan sendiri beragama Kristen, sedangkan kakak lelaki satu-satunya beragama Islam.

Hajah Riamah Pardede (86), warga Bungabondar, juga hidup satu atap dengan anak dan menantunya yang beragama Kristen. "Anak saya sudah dewasa, bisa memilih jalannya sendiri. Setelah ditinggal mati suami, dialah yang menjaga saya. Dia yang memasak makanan dan merawat saya kalau sakit. Walaupun agama kami berbeda, dia berbakti kepada orangtuanya. Bangga punya anak dia," kata Riamah.

Menjelang Natal di Bungabondar, suasana desa benar- benar meriah. Damai kasih Natal nyata melingkupi Sipirok yang selalu diselimuti kabut itu. Sipirok adalah bukti nyata bahwa harmoni antarpemeluk agama bukanlah impian. (AHMAD ARIF)
Selanjutnya