Breaking News

Bale Pasogit: Doa Malim

Ugamo Malim di Negara Demokratis
Oleh Norton G Manullang SAg

Jumat, 2-3 Maret 2006 lalu terasa agak lain di desa Huta Tinggi, 4 km dari Laguboti
dan sekitar 300 km dari Medan ke arah Pantai Barat. Matahari sedang menuju puncak klimaks ketika alunan lembut bunyi serunai dipadu dengan kecapi, garantung, hesek, alat musik khas Batak Toba mengawali prosesi upacara Sipaha sada di Huta Tinggi.

Ada perasaan yang sukar dilukiskan yang menyeruak dalam kalbu tatkala alat musik tradisional Batak Toba itu mengalun lembut. Sungguh, perayaan yang dihadiri ratusan orang pengikut ugamo malim itu sangat kental diwarnai oleh simbol-simbol budaya Batak Toba. Busana dan rias khas Batak Toba. Sebutlah para pria yang sudah berkeluarga menggunakan tali-tali (sorban putih yang tak berekor) dengan menyarungkan ulos seperti ragi hotang, sibolang atau ragidup.

Para pria yang belum berkeluarga menggunakan busana bebas dan sopan dengan selempang ulos yang sama dan pakai sarung. Para perempuan dewasa baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah tampak dengan gulungan rambutnya yang dibenamkan ke dalam, yang biasa disebut sanggul Toba.

Seluruh rangkaian ritual upacara religius itu diiringi dengan gondang hasapi, tanpa ada nyanyian. Setiap orang hanya tunduk-khusyuk sambil tangan terkatup menyembah di dada mengekspresikan rasa hormat yang mendalam kepada Debata Mulajadi Nabolon. Tidak ada suara berisik atau berbisik. Semua dalam suasana khidmat dan tenang. Boleh dikatakan tampaknya salah satu kekuatan ugamo malim ialah mempertahankan simbol-simbol budaya Batak Toba dalam keasliannya.

Huta Tinggi adalah pusat ugamo malim sedunia. Secara historis Parmalim Huta Tinggi dirintis oleh Raja Mulia Naipospos (wafat 18 Februari 1956), lalu diteruskan oleh anaknya Raja U M Naipospos (wafat 16 Februari 1981) dan sekarang dipimpin oleh Raja Marnangkok Naipospos (usia 67 tahun). Sebagai tempat berkumpul dan beribadat di desa Huta Tinggi didirikan bangunan peribadatan yang disebut Bale Pasogit (arti hurufiahnya balai asal-usul).

Di Bale Pasogit dilaksanakan upacara religius ugamo malim. Tanggal 3 Agustus 1921 atas persetujuan WKH Ypes, Controleur van Toba waktu itu didirikanlah Bale Pasogit. Selain Bale Pasogit juga terdapat bangunan yang didesain secara khusus yakni bale partonggoan (balai doa), bale parpitaan (balai sakral atau penyucian diri), bale pangaminan (balai pertemuan atau mess, tepat menginap), dan bale parhobasan (balai dapur umum, tempat mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pesta). Di tempat itulah setiap tahun para penganut ugamo malim menyelenggarakan dua perayaan besar yakni upacara Sipaha Sada dan Sipahala Lima.

Memaknai upacara sipaha sada

Pada perayaan sipaha sada para penganut ogamo malim datang dari berbagai penjuru yang tersebar di 50-an komunitas dan sekitar 1500 KK. Dari jumlah itu mereka tidak sekedar hadir, tetapi mereka aktif-partisipatif dalam seluruh rangkaian upacara karena mereka meyakini bahwa Bale Pasogit adalah Huta Nabadia (Tanah Suci). Upacara Sipaha Sada dilaksanakan di dalam ruangan Bale Pasogit, sementara upacara Sipaha Lima diadakan di luar karena teknis pelaksanaannya besar dan berciri kosmis. Menurut Raja Marnangkok Naipospos, pimpinan umum ugamo malim saat ini upacara Sipaha Sada merupakan pembuka tahun dan hari yang baru bagi penganut parmalim Huta Tinggi. “Inti pesta Sipaha Sada ialah menyambut kelahiran dan kedatangan Tuhan Simarimbulu Bosi dan para pengikut setianya yang telah menderita dalam mengembangkan ajaran Ugamo Malim ini,” jelas Raja Marnangkok. Si Marimbulu Bosi bagi penganut parmalim adalah nama Tuhan bangsa Batak.

Menurut generasi ketiga dari keturunan perintis ugamo malim ini setiap aturan yang dilaksanakan di Bale Pasogit harus dihadiri oleh seluruh umat parmalim. Maka tidaklah mengherankan upacara tahun baru parmalim ini sungguh menjadi momen penting sebagaimana hari natal bagi penganut agama Kristen. Untuk itu, dua hari sebelum upacara Sipaha Sada, diadakan juga mangan napaet (makan sesuatu yang pahit) yakni menyantap makanan simbolik untuk mengenang kepahitan dan penderitaan Raja Nasiak Bagi, sang penebus mereka. Bahan-bahan makanan tersebut merupakan paduan antara daun pepaya muda, cabe, garam, dan nangka muda yang ditumbuk dengan halus.

Ritus mangan napaet berlangsung sebagai pembuka dan penutup puasa yang mencapai waktu sampai 24 jam. Itulah bagi penganut parmalim sebagai bulan permenungan, pertobatan dan bulan penuh rahmat. “Makna hakikinya, bahwa parmalim pada saat sebelum Sipaha Sada ini sudah melaksanakan upacara pengampunan dosa,” jelas Raja Marnangkok yang sudah mengemban kepemimpinan ugamo malim selama dua puluh lima tahun, sejak 1981.

Dengan demikian bisa dikatakan perayaan Sipaha Sada dapat dianggap sebagai jantung ritus dalam upacara keagamaan Parmalim Huta Tinggi. Perayaan itu memuncak dalam tonggo-tonggo (doa-doa) yang dilambungkan pada hari kedua. Ritus itu berlangsung selama lima jam, mulai jam dua belas siang hingga pukul lima sore. Upacara religius itu diselang-selingi oleh tonggo-tonggo, dengan iringan ritmis musik tradisional gondang hasapi, tortor, dan penyampaian persembahan. Satu hal yang menarik ialah bahwa mereka tetap mempertahankan aturan-aturan ni panortoran. Sesuai dengan catatan Thomson Hs, seorang penyair dan penggiat budaya Batak Toba dan praktek pelaksanaan upacara religius Sipaha Sada baru-baru ini ada sepuluh jenjang doa yang disampaikan. Dan setiap doa disertai dengan iringan musik tradisional Batak Toba. Doa-doa tersebut ialah:

1. Doa untuk Mulajadi Nabolon, Tuhan Pencipta langit dan bumi.
2. Doa untuk Debata Natolu, (Batara Guru, Debata sori, dan Bala Bulan).
3. Doa untuk Siboru Deak Parujar, yang memberi sumber pengetahuan dan keturunan.
4. Doa untuk Naga Padoha Niaji, penguasa di dalam tanah.
5. Doa untuk Saniang Naga Laut, penguasa air dan kesuburan
6. Doa untuk Raja Uti yang diutus Tuhan sebagai perantara pertama bagi manusia (Batak).
7. Doa untuk Tuhan Simarimbulu Bosi yang hari kelahirannya sekaligus menjadi momentum perayaan Sipaha Sada.
8. Doa untuk Raja Naopat Puluh Opat yakni semua nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa-bangsa melalui agama-agama tertentu, termasuk Sisingamangaraja yang diutus bagi orang Batak.
9. Doa untuk Raja Sisingamangaraja, raja yang pernah bertahta di negeri Bakkara.
10. Doa untuk Raja Nasiak Bagi, yang dianggap sebagai penyamaran atau inkarnasi Raja Sisingamangaraja. Pseudonominya biasa disebut Patuan Raja Malim.

Jadi, secara “teologis” bisa dikatakan bahwa ugamo malim juga menganut paham monoteistik, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena tujuan akhir semua doa mereka tetap diarahkan kepada debata Mulajadi Nabolon. Usai doa-doa itu dipanjatkan dilanjutkanlah “kotbah” atau renungan yang disampaikan oleh pimpinan, Raja Marnangkok Naipospos. Kemudian mereka manortor secara bergiliran mulai dari keluarga Raja sampai naposo bulung (muda-mudi).

Ugamo malim di negara demokratis

Undang-undang Dasar 45 pasal 29 menjamin setiap warga negara dalam kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya. Seyogianya undang-undang dasar itu menjadi landasan hukum bagi setiap warga negara dalam mengekspresikan kebebasan beragama. Di Republik ini sering terjadi tindakan di jalur luar akal sehat, tidak rasional. Katanya untuk menyejahterakan rakyat tetapi malah membuatnya makin sengsara. Hal yang sama terjadi dalam bidang kebebasan beragama. Parmalim, konon adalah salah satu kelompok di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang setia melakukan pergerakan dalam melawan kolonial Belanda. Itu berarti meski bertindak lokal dalam skop Tanah Batak tetapi paham mereka sudah pada nasionalisme.

Akan tetapi perjalanan sejarah menyatakan lain. Sesudah kemerdekaan, penganut Parmalim semakin terpinggirkan. Bahkan oleh penganut agama tertentu mereka dicitrakan sebagai si pelebegu (yang menyembah setan, hantu). Persepsi demikian tertanam karena klaim kebenaran agama yang masuk ke Indonesia. Tentu saja dampak dari klaim tersebut sangat fatal bagi penganut Parmalim.

Dalam negara secara administratif mereka tidak memperoleh hak yang sama dengan penganut agama lain misalnya. Kristen, Katolik atau Islam. Kenapa demikian? Negara yang katanya menjamin kebebasan beragama ini dan menganut paham demokrasi hanya mengakui lima agama ditambah dengan baru-baru ini satu agama lagi, yakni Kong Huju. Keberadan parmalim masih seperti duri dalam daging dalam pengelolaan negara dan kelompok agama lainnya. Bahkan barangkali ada persepsi dari agama lain bahwa penganut Parmalim masih perlu ditobatkan lagi. Cap si pelebegu atas parmalim tentu tidak mudah dihapus dari benak sebagian masyarakat kita yang sudah “bertobat” entah menjadi Kristen, Katolik, Islam, Budha atau Hindu.

Maka, dalam makalahnya yang berjudul, “Parmalim di Negeri Merdeka” pada Seminar Parmalim Batak Toba: Kekuasaan, Negara, dan Ekspresi Keberagamaan di Indonesia di Best Western Internasional Hotel, Medan 24 November 2005 lalu, Monang Naipospos, seorang penganut Parmalim Huta Tinggi mengatakan bahwa hambatan pertama dalam bernegara yang dihadapi oleh penganut parmalim adalah memperoleh hak pencatatan sipil, misalnya, mengurus akte perkawinan. Selain itu, dalam mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) misalnya, seorang penganut parmalim akan mengalami kesulitan menuliskan agamanya. “Maka di KTP kami yang ditulis adalah-(garis) atau menganut agama tertentu seperti Islam atau Kristen”, tulis adik kandung dari Raja Marnangkok Naipospos. Kesulitan lain yang sering dihadapi oleh parmalim, tulis Monang, ialah keterkucilan dari adat karena penganut parmalim tidak makan daging babi. Dengan singkat kata persepsi bahwa “agama saya yang paling benar, agamamu tidak, kau masih sipelebegu” masih berdiam di hati sebagian masyarakat kita meski dengan jelas parmalim juga menyembah pada Tuhan yang sama.

Catatan akhir

Para pendiri bangsa ini telah dari dulunya menekankan pluralitas yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Dengan indah pluralisme itu mereka patrikan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberbedaan, kemacamragaman dalam berbagai segi kehidupan, entah budaya, etnis, golongan, agama atau kepercayaan diharapkan tidak membawa perpecahan dan saling tuding melainkan membawa persatuan dan kesatuan dalam membangun bangsa dan negara. Bhinneka Tunggal Ika secara simbolis menyatakan betapa warga negara Indonesia mesti dibangun dalam semangat demokratis, menghargai pandangan dan keyakinan orang atau kelompok lain. Perbedaan, kebhinnekaan atau kemacamragaman tidak menjadi halangan dalam mewujudkan keekaan yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kalau demikian halnya Konghuju yang sudah resmi diterima sebagai agama resmi di Indonesia, apakah potensi kultural seperti ugamo malim harus terus diabaikan? Di jaman yang kian menghilangkan batas-batas ruang dan waktu, batas-batas identitas kultural yang makin kabur bukanlah mengakar dalam budaya lokal itu mendesak tanpa ketinggalan jaman? Kiranya motto Parmalim yang inklusif-radikal (radix, Latin berarti akar) menjadi ruang masuk ke arah sana. Parbinotoan Naimbaru (menerima perkembangan ilmu dan teknologi demi peningkatan sumber daya manusia), Marngolu Naimbaru (Menerima perkembangan jaman untuk meningkatkan kesejahteraan dan peradaban, tanpa melanggar etika sosial sesuai dengan tuntutan ugamo malim), dan Tondi Namarsihohot (tetap bertaqwa kepada Tuhan Debata Mulajadi Nabolon melalui ajaran Sisingamangaraja-Raja Nasiak bagi tanpa dipengaruhi ajaran keyakinan agama lain) berorientasi pada keterbukaan yang dialogis dengan setiap elemen masyarakat. (Penulis adalah Redaktur Majalah “Menjemaat”, Medan koresponden UCANews, nortonmanullang@yahoo.com /m)

Selanjutnya

Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini