"Saat itulah Mulajadi Nabolon, bersama Raja Uti, turun ke bumi dan menari. Raja Uti adalah manusia sakti utusan Mulajadi Nabolon. Mereka menyebutnya Rasul Mulajadi yang pernah turun ke bumi --lalu hidup secara gaib. Di pekat malam, dalam kelam, dua bayangan menari. Satu Sang Mulajadi Nabolon, satu Raja Uti. Dua bayangan yang hanya bisa dilihat oleh ia, Si Parmatabegu."
Hilangnya Malam
Post: 09/01/2003 Disimak: 226 kali
Cerpen: Gus tf Sakai
Sumber: Media Indonesia, Edisi 08/31/2003
--------------------------------------------------------------------------------
IA ingin menangis. Ia ingin menangis oleh rasa gundah ganjil yang melilit berputar-putar meremas perutnya, lalu menyentak, menyesak naik ke dada. Adakah perasaan sedih yang disertai rasa mual atau entah apa? Tetapi selalu, yang keluar dari mulutnya kemudian adalah jerit; jerit pendek, bagai tertahan, melengking nyaring merobek malam: "Aaaaa!"
Sunyi, sebentar. Lalu, "Aaaaa!" jerit itu kembali melengking, tetapi berasal dari tempat lain. Aneh. Kenapa jeritannya bisa berpindah? Selalu pula, sesudahnya, ia tak habis pikir. Jerit itu jelas adalah jeritannya. Dinding bukit memang ada, tetapi letaknya jauh di luar desa adat atau huta. Jadi, jelas pula itu bukanlah si pongang. Bukan gema. Ataukah juga ada orang lain, seperti dirinya, mengalami hal yang sama?
Tidak. Semua orang tahu dalam huta hanya satu Si Parmatabegu, dirinya. Semua orang tahu di kampung kecil dan terpencil di kaki dolok atau kaki gunung itu yang menjerit-jerit hampir tiap malam hanya ia, Si Mata Hantu. Dan orang-orang juga heran, apakah yang menyebabkan Si Parmatabegu menjerit seperti itu? Betapa mereka ingin tahu. Tetapi, sejak para tentara memberlakukan apa yang disebut jam malam, orang-orang tak lagi diperbolehkan keluar rumah setelah senja.
"Aaaaa!"
***
MEREKA, penduduk yang entah sejak kapan hidup bagai terpisah dari dunia luar itu, tiba-tiba juga sadar telah tak melihat Si Parmatabegu ketika siang. Ke manakah lelaki lajang separuh baya itu? Tetapi, ternyata, hanya orang-orang dewasa dan orang-orang tua yang tak melihat atau tak bertemu dengan Si Parmatabegu. Para bocah atau kanak-kanak yang biasa berkelakar dengannya, masih. Hanya saja, menurut para bocah itu, Si Parmatabegu tak lagi suka bercanda atau menjawab pertanyaan mereka tentang rupa-rupa hantu. Melainkan, dengan pandangan mata kosong dan sedih, akan menggumam (atau berdesah?) tentang tari.
"Tari? Tortor maksud kau?" tanya orang-orang dewasa memastikan apa yang mereka dengar dari para bocah.
"Ya." Dan para bocah itu tiba-tiba menari. Menari dengan tarian yang orang-orang dewasa sangat mengenalnya, dan merasa heran kenapa kanak-kanak itu bisa.
***
GERAKAN tortor yang ditarikannya dengan lemah gemulai, tiba-tiba berubah patah-patah. Matanya melotot menatap langit, tiba-tiba menukik menikam bumi. Di tengah lima puluhan penari lelaki dan perempuan lain, gerak tortor perempuan itu menjelma jadi berbeda. Liar, bertenaga, bagai ada kekuatan tak kasatmata yang mengendalikannya.
Lelaki tua pemimpin upacara, mereka menyebutnya ulu punguan, tersenyum lebar. Gerakan tortor perempuan itu menandakan si perempuan tengah kesurupan roh, siar-siaron. Ulu Punguan pun segera mendekati si perempuan, lalu melilitkan sehelai kain putih ke kepalanya, dan berkata, "Horas maho (Semoga Anda selamat)."
Penari yang kesurupan menandakan upacara diberkahi Sang Pencipta: Mulajadi Nabolon. Maka tak sia-sialah Sipaha Sada, upacara awal tahun menurut almanak mereka. Ulu Punguan pun kemudian turut menari, mengikuti gerak si perempuan yang semakin liar melompat-lompat. Gendang atau gondang dipukul kian menjadi, mengiringi (atau menuntun?) tempo tarian yang semakin cepat. Berputar. Berputar mengelilingi langgatan, semacam meja bambu berumbai pelepah dan daun kelapa tempat persembahan.
Maka tibalah saat itu, saat yang mereka tunggu. Roh nenek moyang, melalui si penari yang kesurupan, akan memberikan petuah-petuah; menyampaikan ajaran. Mulanya sang roh bakal bicara dengan Ulu Punguan, kemudian dengan Pargonsi si penabuh gondang. Lalu dengan si peniup sarune bolon, dan kemudian barulah dengan semua, mereka: orang-orang yang setiap tahun merasa dunia tambah kotor, dan karenanya harus selalu mencucinya.
Sesudahnya, sang roh akan maroing-maroing, meratap-ratap. Meratap dengan bagai sangat sedih. Dengan bagai sangat rindu: "Aku telah litak, Amang, mencari-cari yang aku tak ketahui; litak mendaki bukit, menuruni lembah, tapi Engkau tak juga aku jumpai, ya Amang Mulajadi...."
Dan Si Parmatabegu, dengan khusuk, bangkit keluar dari Sipaha Sada.
***
IA, Si Parmatabegu, bangkit keluar dari Sipaha Sada, yang hanya jadi angannya. Sejak para tentara datang, hari-hari mereka telah menjelma jadi berbeda. Jangankan Sipaha Sada, upacara 'kecil' Mangalahat Horbo Lae-lae saja tak lagi bisa. Bagaimana akan bisa bila gondang mandudu, ritus menabuh gendang di malam harinya, tak dapat dilakukan. O, betapa kini, karena jam malam itu, mereka bagai tak lagi memiliki malam.
Urusan apakah, sebenarnya, yang membuat tentara berdatangan? Ia dengar, konon memburu separatis (apakah itu separatis?) yang lari dari suatu daerah di utara. Separatis itu naik dari Sorkam, terus ke Parmonangan, naik ke dolok, dan sembunyi di kampung mereka. Sembunyi? Di kampung sekecil ini? Si Parmatabegu sangat kenal lekuk-liku huta-nya, setiap rumah, dari setiap jabu sampai kolongnya, bahkan hutan rimbanya, bahkan jalan tikus dari kampung mereka yang berliku-liku naik ke Dolok Sanggul. Jika sebelumnya memang ada orang asing datang selain para tentara itu, pastilah ia yang paling dulu tahu.
O, malam yang hilang. Gondang mandudu.
"Aaaaa!"
***
"JERITAN itu, kau tak terganggu?"
"Sangat terganggu! Jerit siapa itu?"
"Si Parmatabegu."
"Lo, kau tahu?"
"Ya tahu, Si Mata Hantu."
"Lo, kok tahu?"
"Ya tahu, mereka bilang begitu."
"Si Mata Hantu, ha ha ha. Serem juga. Kenapa namanya begitu?"
"Bila dilakukan gondang mandudu, upacara menabuh gendang malam hari, tuhan mereka akan turun ke bumi. Dan menari. Hanya orang tertentu yang bisa melihatnya. Dialah itu, Si Mata Hantu."
"Hua ha ha.... Dan sepertinya, Si Begu itu tak hanya satu."
"Maksud kau?"
"Tak kau dengar? Di sebelah sana. Sebelah sini juga."
"Mereka bilang hanya seorang."
"Oke, gampang itu. Tahu rumahnya? Kita ambil saja."
"Tanya dulu Komandan."
***
KENAPA jerit itu bisa berpindah? Kenapa bagai menjelma jadi banyak? Lama juga orang-orang kampung bertanya-tanya. Tetapi, entah bagaimana awalnya, pertanyaan itu segera digantikan oleh pikiran bahwa mungkin saja Si Parmatabegu menjerit seraya berlari-lari mengelilingi huta. Tapi bagaimana bisa. Selain jeritan itu berpindah hanya dalam hitungan detik, tidakkah jam malam akan membuat ia diringkus para tentara?
Ah, mudah saja. Si Parmatabegu. Melihat hantu ia mampu, melesat cepat atau berkelit ligat dari tentara tentulah juga bisa. Begitu pikiran orang-orang. Dan anehnya, jerit yang biasa mereka dengar, lambat laun berubah jadi suara tangis. Tangis yang begitu lirih, begitu pilu. Begitu sedih begitu sendu. Sementara, para tentara bagai tak mendengarnya. Di telinga mereka tetap melengking suara jerit. Semakin ramai dan bagai tambah banyak.
Memang aneh, tapi begitulah kenyataannya. Dan malam selanjutnya, di kampung kecil dan terpencil di kaki dolok atau kaki gunung itu, bagai mengapung suara tangis. Tangis yang dengan ganjil seakan menjalar di atap-atap rumah, turun menyelusup ke setiap pintu dan daun jendela di jabu tonga-tonga, lalu masuk ke kepala penduduk yang, lambat laun juga, bagai tengah merasa berada dalam gondang mandudu. Maka, kemudiannya, di kepala mereka, yang ada adalah suara gendang. Gendang yang ditabuh sedemikian rupa, yang kadang terdengar gegap gempita, kadang merendah bertalu membelah jiwa.
Saat itulah Mulajadi Nabolon, bersama Raja Uti, turun ke bumi dan menari. Raja Uti adalah manusia sakti utusan Mulajadi Nabolon. Mereka menyebutnya Rasul Mulajadi yang pernah turun ke bumi --lalu hidup secara gaib. Di pekat malam, dalam kelam, dua bayangan menari. Satu Sang Mulajadi Nabolon, satu Raja Uti. Dua bayangan yang hanya bisa dilihat oleh ia, Si Parmatabegu.
Si Parmatabegu, betapa beruntungnya ia, betapa bahagianya. Dan mereka melihatnya membaca tonggo-tonggo, membaca mantra: "Kiranya datanglah Engkau, ya Tuhan, yang bertuah disembah, datanglah yang indah dan cerah. Datanglah Engkau yang menegakkan keadilan, yang menanam tumbuh-tumbuhan, awal api yang menyala di Sianjur Mula-mula....
"Junjungan yang empat delapan parbaringan, sebagai perantara kepada Mulajadi. Berbungalah juragi sejengkal dua jari, adat yang terendam yang tak retak ke matahari. Terbang burung tapi-tapi, hinggap burung ruba-ruba, firman Tuhan tak akan terbuang. Berdiri pun adat tak bisa dipotong, terlepas pun tak bisa dilangkahi...."
***
"MEMBUAT telingaku pekak!"
"Ambil saja!"
"Komandan kan sudah kasih izin!"
"Mata Hantu kek, Mata Iblis kek, bungkam aja!"
"Sekalian dengan hantunya! Berapa kompi? Suruh panggil ia semua. Hua ha ha!"
***
IA ingin menangis. Ia ingin menangis oleh rasa gundah yang melilit berputar-putar meremas perutnya, lalu menyentak, menyesak naik ke dada. Tetapi ah, akankah ada gunanya? Ia, kini, telah berada di suatu tempat yang jauh dari huta-nya. Bahkan, boleh di kata ia tak lagi ada.
Tak lagi ada? Mungkin itu tak tepat. Di sini, di pinggir jalan lintas Sumatra, di samping sebuah restoran di pinggir rimba di mana bis-bis dan truk-truk tambangan jauh biasa beristirahat dari perjalanan yang panjang entah dari mana, ia tak henti-henti tak capek-capek menabuh taganing, gondang kebanggaan mereka. Selalu ia berharap, entah bagaimana, akan ada orang lain entah siapa bakal mendengarnya. Tetapi ah, tidakkah hanya sia-sia?
Tidak. Hari itu, di senja yang murung, sebuah sedan merah berdebu, perlahan, menepi membelok ke depan restoran. Seorang ayah muda dan seorang ibu muda yang menuntun seorang bocah perempuan lima tahunan keluar dari dalamnya. Wajah mereka capek. Letih. Si ayah meregang pinggang, si ibu membereskan baju si anak, tetapi si anak tiba-tiba terpana.
"Ada apa, Sayang?" si ibu bertanya.
"Suara itu, Mama," si anak bagai mencari, memutar-mutar kepala.
"Suara apa?"
"Suara tangis. Suara gendang."
Si ibu mengernyitkan dahi, menajamkan telinga. Sejenak, kemudian ia tersenyum, mencubit pipi si anak. "Kamu belum sepenuhnya bangun, Sayang. Tidak ada."
***
Payakumbuh, 17 Agustus 2003
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini