Tiga minggu yang lalu, sebuah kapal survei China masuk dan berlayar tanpa diundang di zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kapal tersebut berlayar melintasi bentangan kecil di Laut Natuna Utara dengan pola mesin pemotong rumput yang khas digunakan oleh kapal survei maritim. Hingga Selasa, kapal itu tetap berada di sana, di tengah sejumlah pertanyaan yang hingga kini belum terjawab mengenai apa sebenarnya yang dilakukannya di sana.
Pihak berwenang Indonesia telah mengerahkan beberapa kapal TNI AL ke perairan tersebut, namun tetap tidak menganggap kehadiran kapal China berbobot 3.400 ton, Haiyang Dizhi 10, sebagai suatu masalah besar. Sikap ini menunjukkan dilema yang umum dihadapi pemerintahan di negara-negara maritim Asia Tenggara, yaitu bagaimana menanggapi klaim China atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan.
“Ini adalah pedoman yang sama persis yang kami lihat Beijing gunakan terhadap Vietnam di akhir 2019 dan Malaysia di awal 2020,” ujar Greg Poling, direktur Inisiatif Transparansi Maritim Asia (AMTI) di Center for Strategic and International Studies di Washington, merujuk pada insiden di mana kapal survei China berkeliaran di zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara tetangga, tempat eksplorasi minyak dan gas sedang berlangsung.