Pongki, Sang Faqih
Namun, tanpa mengetahui asal-usul nam tersebut, mudah dimengerti masksud dari nama itu. Nangol-ngolan mengandung arti sebuah penderitaan. Penderitaan yang disebabkan oleh tragedi... tragedi penungguan yang dia;ami oleh empunya nama.
Mungkin sang ibu ingin anaknya mengerti saat dia lahir, saat dia menghidup udara pertama, seorang bayi telah lahir dari skandal keluarga yang membuat mereka kemudian diasingkan.
Pongki adalah kata yang menandakan arti kesalehan, diambil dari kata Faqih, sebuah kata yang menandakn doa sang Ibu agar anknya kemudian termasuk orang-orang yang Pongki, Faqih. Pongki merupakan kata batak yang mempunyai arti orang yang shaleh dan menguasai hukum-hukum agama.
Ketika itu, dalam kehidupan istana kerajaan, skandal itu terjadi dan membuat marah orang sekitar terutama yang mengetahuinya.
Skandal itu kemudian membuat penguasa, Yang Mulia Sisingamangarja X mengambil tindakan alienisasi terhadap adik dan putrinya sendiri. Diusir dari tanah Bakkara, ibukota kerajaan Batak. Bagi mereka, sang anak yang nantinya bermarga Sinambela tidak mungkin lahir dari ibu yang boru Sinambela juga.
Kisah tragis itu mengawali kisah sang bayi.... mengarungi hutan belantara di bawah panas terik matahari.. dalam gendongan sang Ibu... Tanpa mengerti apa yang terjadi, dia yang lahir fitrah dan suci itu harus menanggung semuanya.
Singkil merupakan tempat yang aman bagi mereka, kebersahajaan penduduknya menerima mereka membuatnya dapat hidup sebagaimana ank-anak lainnya. Tak terpikir oleh si Bayi, yang disebut di Pongki oleh ibunya, yang lahir dari marga Sinambela, akan nasibnya di masa depan.
Suksesi Kerajan Batak kemudian mengubah hidup mereka untuk sementara. Pangeran telah menggantikan SM raja X dan menjadi raja dengan Gelar SM Raja XI.
Sang ibu, yang juga putri kerajaan kemudian dipanggil pulang. Oh Pongki pulanglah bersama ibumu. Lihatlah pamanmu sudah menjadi raja, tidak ada demdam yang kesumat. Jalinlah kembali persaudaraan itu.
Tak terlukis rasanya perasaan bahagia di hati si anak. Rasa gembira.. senyum canda dan cerita.. menjadi santapan setiap hari. Sungging senyum dan perhatian paman, Yang Mulia SM Raja, menjadi pelipur lara yang tiada tanding.
Saat-saat berburu rusa.. menunggang kuda dengan gagahnya.. mengikuti tradisi kakek-nenek dulu.. saat mereka berjaya mempertahankan kerajaan dari gempuran musuh. Sejenak semuanya terlupakan, tidak ada skandal dan tragedi.. tidak ada benci dan permusuhan.
Namun, tragedi tetap tragedi.. saat gosip itu menyebar kembali, saat isu mulai terdengar lagi, saat sang Tulang berada dalam dilema. Oh mengapa kalian tega ingin membunuhku?? Pongki si kecil yang masih berumur 9 tahun tak dapat mengerti jawaban itu. Pandangannya lurus
menatap sang Paman.. di hatinya; hanya ada Paman yang membuat hatinya gembira, membuanya bahagia.
Namun mengapa hari ini paman membiarkannya orang-orang mencemoohinya, mengikatnya di sebatang kayu... kedua tangannya di rentangkan lalu diikat sekuatnya. Badannya diberati dengan batu. Oh mau diapakan aku??? di pinggir Tao Toba Nauli ini.
"Yang Mulia Paman??" Aku tahu dihatimu penuh dengan pasu-pasu ni Mula Jadi Nabolon... Engkaulah Halilu ni Ibana di dunia ini. Kekuasaanmu meliputi seluruh tanah Batak.. keagunganmu membuat rakyat sangat menghormatimu. Jiwamu penuh kasih dan sayang.. dan aku pernah merasakannya... jawablah mau diapakan aku ini???
Pikiran Faqih bisa saja berkecamuk. Hatinya bisa saja mendidih. Apalagi melihat sang ibu yang meraung dengan tangisannya. Mengiba kesemua khalayak ramai.. agar melepaskan anaknya, satu-satunya. Karena dia tidak mengerti dan mengetahui semua itu. Sebuah tragedi yang semestinya bukan dia yang harus merasakn akibatnya, seorang Pongki yang baru berusia sembilan tahun.
Si Ibu Putri kerajaan, iboto ni Raja na Uli i, rela ikut dengan anaknya ditenggelamkan ke danau. Ditenggelamkan?????? Oh tuan nami, Raja ni Raja SM Raja, yang Mulia, mengapa semua ini bisa terjadi???? Aku tahu ini bukan perintahmu, aku ahu engkau tidak sanggup melakukan ini semua. Dari gerut wajahmu, aku mengerti masih ada cinta di dalam hatimu... Pongki hanya bisa membisu.
Cerita tragis itupun berlanjut, tidak sampai hati untuk menuturkannya secara detail...
Marilah kita melompat mengenai kisah seorang nelayan bermarga Marpaung. Dari sebuah desa di pinggir sungai yang dihuni oleh Marga Marpaung yang sudah menganut Islam sejak abad 14,turunannya ada yang menjadi Tuanku Asahan.. pemimpin di daerah Asahan. Komunitas Hutagalung di wilayah itu kemudian dikenal sebagai komunitas awal, di abad 15, yang mempraktekkan Islam dalam kehidupannya.
Sambil mengayunkan "solu" nya, dia menemukan seorang bocah kecil yang mengambang di sungai... suara hatinya terdetak untuk menolongnya.. Beberapa dekade setelah itu, tentara Sisingamangaraja tiba-tiba merapatkan barisan. Para prajurit sibuk diskusi untuk sesuatu yang genting.
Beberapa abad lamanya Tanah Batak dapat diamankan oleh pasukan ini dari goncangan musuh. Batak dengan segala kekayaan buminya yang melimpah dapat dilindungi. Semua komponen musuh segan dan menghormati Raja Batak. Terbukti dengan susahnya orang-orang masuk dan mempengaruhi budaya batak.
Panglima SM Raja siap tempur, siaga di setiap benteng yang mengurung wilayah tanah Batak. Di antara mereka yang paling di segani adalah Panglima Rambe yang menjadi pimpinan pasukan di wilayah terdepan melindungi wilayah Dolok Sanggul, sebuah wilayah yang pernah menjadi Produsen "Kemenyan" terbesar di dunia.
Panglima Rambe ini berasal dari Tukka, yang sekarang masuk dalam wilayah Pakkat. Dia selalu menjadi andalan SM Raja dalam diplomasi kerajaan ke negara-negara lain.
Selain itu juga ada Panglima Tanjung, seorang Muslim yang menjadi andalan Sisingamangaraja XI di wilayah Batak yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Aceh. Islam memang sudah menjadi agama resmi sebagian warga Batak, sebagian lagi percaya dengan filosofi Batak yang parmalim. Keduanya saling mengadopsi nilai-nilai untuk sebuah keutuhan. Puak marpaung misalnya sudah menjadi Islam taat, sejak abad ke 14 berkat hubungan sosial mereka dengan Asahan yang saat itu dikuasasi Aceh, dikuti oleh komunitas Hutagalung di abad 15.
Nun, jauh di sana di perbatasan... sebuah pasukan bersiap-siap memasuki Tanh Batak.. seorang pemimpin dengan gagah berani memimpin pasukan dengan penuh wibawa.
Sepertinya raut wajahnya sudah umum: sepertinya dia mirip dengan bocah yang ditemukan nelayan di sungai tersebut. Bocah yang terusir dari Bonapasogit... Bocah yang sangat mencintai Pamannya; Sekarang menjadi seorang Jenderal dengan Jubah yang berwibawa; Panglima Sinambela, Sang Faqih.
Disadur dari: Tuanku Rao, oleh Ompu Parlindungan
Selanjutnya