Breaking News

Sukanto Tanoto Dan Kerusakan Lingkungan di Bonapasogit (Porsea)

Melacak Jejak Lama Sukanto Tanoto
Budi Kusumah

Di kalangan pengusaha keturunan Tionghoa, Sukanto Tanoto bukanlah nama asing. Ia dikenal sebagai usahawan yang berhasil meniti sukses dari tangga paling bawah. Namanya pernah menjadi bahan pembicaraan di ajang nasional lantaran PT Inti Indorayon Utama miliknya yang berlokasi di Porsea, Sumatra Utara, dianggap telah mencemari lingkungan. Gara-garanya, penampung limbah dari pabrik bubur kertas dan rayon itu jebol dan mengotori Sungai Asahan.

Setelah itu, namanya nyaris tak terdengar lagi. Nama Sukanto hanya sayup-sayup terdengar ketika ia melebarkan sayap usahanya di berbagai tempat. Termasuk di Cina, Brazil, Filipina, Finlandia, dan New Zealand. Namun, di hari-hari ini, nama pengusaha asal Medan tersebut kembali menjadi topik pembicaraan hangat di berbagai kalangan.

Pemicunya adalah keberadaan 28 negotiable certificate deposit (NCD) terbitan Unibank milik PT Citra Marga Nusaphala Persada, yang tak kunjung dibayar oleh pemerintah. Padahal, NCD bernilai total US$ 28 juta tersebut sah adanya dan masuk ke dalam program penjaminan Bank Indonesia (karena termasuk dalam perhitungan premi penjaminan yang dibayar oleh Unibank).

Tapi, rupanya, BI memiliki sebuah kartu sakti yang bisa dijadikan andalan. Dalam sebuah dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Siti Fadjrijah mengungkapkan bahwa Sukanto masih memiliki kewajiban berupa wesel ekspor senilai US$ 230 juta. Menurut Deputi Gubernur BI, jika pemilik Grup Raja Garuda Mas (RGM) tersebut membayar kewajibannya, maka seluruh kewajiban Unibank (termasuk NCD yang bernilai US$ 28 juta) akan bisa dilunasi.

Berdasarkan pernyataan inilah, sebuah LSM yang menamakan dirinya Komite Pemberantasan Korupsi melaporkan Sukanto ke Mabes Polri. Dalam laporan tertanggal 17 Februari 2006 itu, Sukanto dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi atas fasilitas BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp 1,4 triliun, plus Wesel Ekspor Berjangka senilai Rp 2,3 triliun (angka ini mungkin merupakan konversi dari wesel yang senilai US$ 230 juta tadi). â€Å“Ada indikasi dia tidak mau membayar kewajibannya kepada negara,” kata Hans Suta Widhya, Koordinator Komite Pemberantasan Korupsi kepada Teddy Unggik dari TRUST.

Tapi, dalam menangani kasus ini, polisi tampaknya bersikap ekstrahati-hati. â€Å“Kami belum menentukan status hukum Sukanto. Yang pasti, semua laporan yang masuk pasti akan kami tindak lanjuti,” kata seorang petinggi di Mabes Polri.

Orang-orang di Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pun menunjukkan sikap yang sama. Salah seorang pejabat di sana menyebutkan, kasus Raja Garuda Mas tidak akan digarap dengan grasa-grusu. â€Å“Tapi pasti akan kami garap,” ujarnya kepada Budi Supriyantoro dari TRUST.

Untuk menyidik kasus sebesar ini, memang bukan perkara mudah. Apalagi, kejadiannya sudah berlangsung beberapa tahun lalu. Sehingga, curang atau tidaknya sang konglomerat itu dalam kasus ini masih perlu diselidiki lebih lanjut.

Maklum, dalam kasus US$ 230 juta ini banyak hal yang terlihat samar. Dan ini yang membuat penyidik harus bertindak superteliti. Misalnya, apa saja yang terjadi sepanjang rentang waktu antara surat pernyataan dan kesanggupan (SPK) yang diteken Sukanto Tanoto dan surat pernyataan â€Å“bebas” yang diteken oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Bermula dari Sebuah Janji

Ihwal munculnya kewajiban dari wesel ekspor ini bermula dari dibekukkannya Unibank. Ketika itu diketahui bahwa Sukanto Tanoto berutang atas diterbitkannya wesel tersebut. Untuk itu, pada 30 November 2001, ia membuat sebuah SPK di hadapan Hin Hoo Sing, notaris publik yang berdomisili di Singapura.

Dalam surat itu, Sukanto menyatakan kesanggupannya untuk membayar kewajiban sebesar US$ 230 juta. Dan sebagai bukti keseriusannya, dua hari sebelum SPK dibuat (28 November 2001), ia melakukan pembayaran di muka (advance payment) ke rekening BPPN sebesar US$ 11,5 juta. Untuk lebih meyakinkan pemerintah (dalam hal ini BPPN), komandan RGM ini juga memberikan jaminan senilai 150% dari total kewajibannya plus jaminan pribadi.

Butir lainnya dalam SPK tersebut adalah berupa kesanggupan Sukanto untuk menyelesaikan kewajiban yang timbul akibat adanya selisih antara aktiva Unibank dan realisasi pengembalian nasabah (butir 4). Bukan hanya itu, ia juga menyatakan bersedia membayar pesangon karyawan Unibank yang terkena PHK. Untuk dua hal ini, ia juga telah menyetor ke BPPN sebesar Rp 100 miliar. â€Å“…apabila ternyata pernyataan yang saya berikan dalam surat pernyataan dan kesanggupan ini tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, maka saya bersedia untuk dikenakan sanksi berupa ganti rugi berdasarkan hukum dan ketentuan yang berlaku.”

Sampai di sini, kelihatannya semua berjalan lancar. Artinya, secara langsung Sukanto mengakui kewajibannya sekaligus menyatakan sanggup membayar. Bahkan I Putu Gede Ary Suta, yang ketika itu menjabat sebagai Ketua BPPN, menyatakan bahwa kasus RGM dan Unibank ini akan selesai paling lambat 31 Januari 2002.

Tapi, entah apa yang terjadi, hingga Putu diganti pada 22 April 2002, kasus Sukanto Tanoto dengan kewajibannya itu tak kunjung tuntas. Tidak jelas juga apa yang terjadi di tahun-tahun pertama kepemimpinannya, sehingga Syafruddin Arsyad Temenggung (pengganti Putu) menurunkan sebuah â€Å“surat bebas”.

Akhirnya Dianggap Lunas

Tapi, dalam surat tersebut tampak jelas, Syafruddin tidak mau (atau tidak berani?) bermain sendirian. Isi butir-butir surat yang diteken olehnya dan ditujukan kepada Sukanto Tanoto, seluruhnya disusun berdasarkan keputusan KKSK alias Komite Kebijakan Sektor Keuangan yang diketuai oleh Menko Bidang Perekonomian.

Di awal surat tertanggal 15 April itu, Syaf mengutip sebagian dari kesanggupan yang dinyatakan Sukanto dalam SPK. Mulai dari ihwal uang muka yang US$ 11,5 juta, pembayaran tunai sebesar Rp 100 miliar untuk menutup kekurangan pengembalian dana pihak ketiga (DPK) yang terjadi di Unibank, hingga biaya pesangon untuk karyawan bank sebesar Rp 15,5 miliar.

Yang terlihat agak aneh dari surat BPPN itu adalah butir keempat hingga alinea penutupannya. Di situ disebutkan bahwa 39,52% saham milik Sukanto di PT Prima Energi Indonesia yang dijaminkan ke BPPN telah dijual seharga Rp 315 miliar. Pembelinya adalah Kalimantan Asset Management.

Sedangkan sisanya (2,08%) yang juga dijadikan sebagai jaminan di BPPN dianggap bernilai US$ 11,5 juta atau setara dengan uang muka yang telah disetorkan. Dan, sesuai dengan permintaan Sukanto Tanoto, saham itu dialihkan ke salah satu perusahaannya yang berbendera PT Asia Prima Kimia Raya. Dengan demikian, total yang diterima pemerintah dari Sukanto hanya US$ 11,5 juta plus Rp 430,5 miliar yang merupakan hasil penjualan saham, kekurangan pembayaran DPK plus pesangon untuk karyawan bank.

Jika dibandingkan dengan jumlah kewajibannya, angka tersebut jelas masih berada jauh di bawahnya. Tapi hebatnya, dengan pembayaran seperti itulah kewajiban Sukanto Tanoto dianggap selesai. Itu tecermin pada alinea terakhir surat tersebut yang berbunyi, ”Dengan demikian…, maka kewajiban Saudara (Sukanto maksudnya) berdasarkan SPK maupun yang dimaksudkan pada proposal Saudara berdasarkan surat tertanggal 20 Oktober 2003, untuk melakukan pembelian kembali jangka panjang ( long term buy back) saham-saham PEI dimaksud dari BPPN, sudah tidak ada dan tidak relevan lagi.”

Kenapa BI Membiarkan?

Apakah dengan turunnya surat tersebut--yang ditembuskan ke Menko Bidang Perekonomian, Menneg BUMN, dan Gubernur BI--berarti kewajiban pemilik Raja Garuda Mas sudah selesai? Ini dia yang masih perlu dipertanyakan. Soalnya, ya itu tadi, ketika muncul ribut-ribut tentang NCD yang diterbitkan Unibank, Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah malah menuntut pengembalian wesel ekspor yang senilai US$ 230 juta. Ini benar-benar aneh bin ajaib. Sebab, logikanya, Ibu Siti yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Direktorat Pengawasan Bank I Bank Indonesia, mestinya mengetahui tentang keberadaan surat tersebut.

Kelemahan atau kelalaian atau mungkin kekhilafan Bank Indonesia juga tampak pada proses penutupan Unibank. Sebab, kendati sebelumnya dikenal sebagai bank yang solid (bahkan pernah mendapat peringkat A), sebenarnya pada tahun 1988 Unibank sudah masuk ke dalam program pembinaan BI.

Menurut Anwar Nasution, yang ketika itu menjabat sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, pihaknya telah melakukan berbagai upaya pembinaan. Mulai dari penggantian pengurus, penambahan modal, hingga membatasi kegiatan Unibank dalam rangka Cease and Desist Order (CDO).

Jadi jelas, waktu itu (1998), BI sudah mengetahui kondisi bank tersebut. Yang membuat aneh, kenapa dalam kondisi seperti itu, BI membiarkan Sukanto Tanoto mengalihkan kepemilikannya kepada sejumlah perusahaan di luar negeri? Sehingga, jika sebelumnya mayoritas saham Unibank dimiliki oleh perusahaan lokal, per 31 Desember berubah menjadi mayoritas asing.

Siapa gerangan perusahaan-perusahaan asing tersebut (lihat tabel)? Wallahualam. Yang jelas, dengan adanya pengalihan saham tersebut, maka tidak ada pemegang saham mayoritas di Unibank yang bisa dimintai pertanggungjawaban.

Nah, kini semuanya tinggal tergantung pemerintah, apakah akan tetap mematuhi keputusan yang sudah diambil oleh para pembantu Presiden Megawati dulu? Atau membatalkan keputusan KKSK c.q BPPN dan mengurai kembali kejadian di masa lalu? Pilihan pertama akan mendatangkan risiko berupa pembayaran NCD senilai US$ 28 juta milik PT CMNP. Risiko itu akan muncul jika Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perusahaan jalan tol tersebut.

Sedangkan pilihan kedua akan menimbulkan dampak yang tak kalah dahsyatnya. Sebab, bukan mustahil, jika persetujuan lunas terhadap sang Raja Garuda dibatalkan, akan berpengaruh pada surat-surat tanda lunas lainnya yang telah diberikan kepada konglomerat lain. Sebab, pihak Sukanto tentu tidak akan tinggal diam jika merasa â€Å“dianaktirikan”.

Sayangnya, pihak RGM tak mau membahas ihwal gonjang-ganjing ini. Kepada TRUST, salah seorang juru bicaranya hanya mengatakan bahwa, â€Å“Manajemen belum berkenan untuk memberikan pernyataan.