Breaking News

Patuan (Sutan) Nagari

Patuan Nagari merupakan tokoh yang namanya terlupakan akibat tenggelam dengan kebesaran nama ayahnya, Patuan Bosar, Sisingamangaraja XII.

Patuan merupakan istilah Batak untuk menyebutkan kalimat SUTAN. Sutan sendiri merupakan kata derivatif dari Sultan. Yang lain mengatakan bahwa Patuan merupakan istilah Bataka untuk "Yang diPertuan". Sebuah istilah yang lazim digunakan di Kerajaan Malaysia sekarang ini. Seperti halnya; Amang Soripada yang berarti Tuan Sri Paduka. Patuan Bosar berarti Yang diPertuan Agung. Patuan Nagari; Yang diPertuan Negeri (?) tidak diketahui pasti apakah penamaan ini merupakan gelar atau jabatan; Misalnya Menteri Dalam Negeri.

Kata ini diadopsi menjadi kata baru di perbendaharaan Batak akibat dari intensitas hubungan sosial dan politik antara Batak dan Aceh.

Aceh merupakan sekutu dekat Kerajaan Batak saat menghadapi Belanda yang memanipulasi beberapa traktat demi tujuan penjajahan yang permanen di Sumatera Timur.

Patuan Nagari, setelah mengecap beberapa bulan Pendidikan Militer di Akademi Militer di Aceh, pulang membawa sebatalyon pasukan Aceh untuk menjadi pengawal Istana sekaligus pengawal kerajaan dari kepungan tentara Belanda.

Beberapa kali setelah itu, dia juga diutus sebagai pangeran ke Aceh untuk menegosiasikan pengiriman bantuan kembali dari Aceh. Disinyalir, orang-orang Aceh yang menjadi anggota ekspedisi misi militer Aceh tersebut merupakan Klan Batak juga. Mereka terdiri dari orang-orang Batak yang bermarga Gayo, Alas dan Singkil.

Dalam literatur-literatur mengenai sejarah Sisingamangaraja XII, disebutkan bahwa Sang Raja (SMR) sering kali mnegutus Sutan Nagari ke Singkil untuk membantu perjuangan Aceh dalam menumpas bajak laut Eropa yang mengganggu pelabuhan tersebut dan juga pihak-pihak Inggris dan Belanda yang melakukan infiltrasi militer.

Posisi Sutan Nagari sering pula digantikan oleh adiknya Raja Pangkilim untuk meningkatkan hubungan diplomatis dengan Aceh. Salah satau adiknya yang terkenal juga namanya adalah Patuan Anggi yang selalu menjadi 'bodyguard' ayahnya saat pemerintahan Sisingamangaraja harus diungsikan ke Pearaja dari Bakkara. Dari tengah-tengah hutan belantara struktur pemerintahan kerajaan berdiri kokoh mengomandoi pertempuran melawan belanda oleh panglima-panglima lokal.

Setelah Belanda menuai hasil dari 'perang psikologi'nya, posisi Sisingamangaraja XII mulai terjepit. Perang psikologi ini menyebabkan beberapa raja huta ikut bergabung bersama belanda untuk menemukan 'pemerintahan terserbunyi' SMR.

Belanda, bahkan, berhasil mendidik seorang informan untuk menikahi putri SMR di pengungsian tersebut dan diapun dengan sukses menjalankan misi 'sel tidur' di pusat pemerintahan tersembunyi tersebut. Ibarat alat 'GPS' Belanda berhasil memonitor semua kegiatan SMR di sana. Disamping itu beberapa raja huta, misalnya; Raja Pontas, sangat aktif melakukan tindakan-tindakan oposisi dalam melemahkan posisi SMR.

Sutan Nagari bersama adik-adiknya, Raja Pangkilim dan Sutan Anggi, beberapa kali berhasil menyelamatkan Ayahnya bersama rombongan dengan, gagah perkasa, menahan maju gerak pasukan pemburu di bawaha komando Cristofel, sementara rombongan SMR diperintahkan untuk meneruskan perjalanan.

Dalam sebuah tindakan heroik disebutkan SMR merasa bahwa Patuan Nagari telah terlalu lama tidak kembali ke barisan mereka. Selidik punya selidik ternyata dia terkepung dan tidak bisa mengeluarkan diri dalam aksinya menahan pasukan komando Belanda tersebut.

SMR memiliki taktik jitu. Diapun mengambil beberapa batangan emas yang menjadi sumber keuangan kerajaan dan melemparkannya ke arah pasukan Belanda, marsuse; pasukan belanda yang terdiri dari Halmahera, Ambon, Jawa dan sebagain Batk yang sudah pro dengan Belanda.

Akibatnya, pasukan Marsuse itu sibuk mengumpulkan batangan emas tersebut dan Sutan Nagaripun berhasil menyelamatkan diri.

Batangan emas tersebut merupakan 'cadangan devisa' kerajaan SMR yang didapat dari hasil hubungan dagang kerajaan Batak dengan berbagai negara. Tanah Batak sendiri sejak berabad-abad merupakan penghasil komoditas Kemenyan terbesar di dunia dan beberapa hasil pertanian seperti beras, kopi, cengkeh, nilam, karet dan tembakau.

Keluarga Dinasti SMR tidak suka membangun istana dan pula tidak menyukai hidup mewah dan megah-megahan seperti halnya kerajaan-kerajaan Indonesia lainnya. Hasilnya; Harta Kekayaan dan Cadangan Devisa kerajaan yang berhasil diangkut kepengungsian, disebutkan, hanya dapat ditarik dengan 7 kereta karavan kuda.

Saat Raja Pangkilim dikirm untuk meminta bantuan kembali ke Kesultanan Aceh, nampaknya pihak Aceh tidak dapat lagi memberikan bantuan karena pihak merekapun sudah hancur lebur dibombardir Belanda.

Di Aceh, hanya Gayo, Alas dan kawasan pegunungan yang belum dikuasai Belanda. Maka ditambah lagi bertambah banyaknya elemen-elemen warga Batak yang 'selingkuh' dengan Belanda, pihak SMR 'in exile' hanya menunggu waktu; untuk dikalahkan.

Di hutan belantara, Si Onom Hudon, pasukan Sisingamangaraja XII terkepung. Beberapa hari mereka tidak makan, karena kondisi memaksa tidak boleh menghidupkan api untuk memasak, karena posisi Belanda sudah sangat dekat.

Akhirnya, posisi pasti SMR pun diketahui secara pasti setelah Belanda berhasil menyiksa penduduk lokal untuk memberitahukan arah perjalanan Belanda. Penduduk lokal tidak tahan lagi merasakan siksaan Belanda dengan menggunakan sengatan serangga dan bagian tubuh mereka dipisahkan paksa dengan alat besi.

Dalam kepungan pasukan pengawal dari Aceh bersama putra-putri SMR selalu berhasil menjaga keselamatan sang Raja. Hingga akhirnya, setelah beberapa hari, istri dan putri SMR tidak sanggup lagi untuk meneruskan perjalanan karena kelaparan.

Dalam pertempuran sengit jarak dekat, Putri Lopian yang saat itu berusia 17 tahun, tertembak. Dia pun terkapar dengan nafas yang terjengkal-jengkal. Melihat penderitaan anaknya tersebut, SMR tidak sanggup untuk meninggalkan putrinya. SMR kemudian membopong putrinya dengan pengawalan Sutan Nagari, Anggi dan panglima-panglima Aceh.

Namun, pertempuran sudah tidak seimbang. Satu persatu panglima dan pasukan pengawal Aceh yang melindungi SMR berjatuhan. Mereka melindungi SMR sampai peluru yang terakhir. Dada dan kepala mereka berlobang dengan tembakan jarak dekat. Sutan Nagari dan Anggi pun terkapar diterjang peluru.

SMR pun terduduk tak sanggup lagi memikul Lopian dengan darah yang bercucuran. Dalam kesempatan itulah pasukan Cristofel mendekat dan memerintahkan SMR untuk angkat tangan. SMR tidak pernah angkat tangan dan menyerah. Dengan sebuah senyum diakhir hidupnya, SMR pun menghembuskan nafas terakhir setelah beberapa peluru melobangi dadanya. Belanda menghabisinya di tempat.

Putri Lopian, dengan pandangan kosong, yang sekarat menahan rintinga. Tidak dapat berbuat banyak. Hanya air mata dan darah bercucuran yang keluar dari tubuhnya. Dia pun meninggal beberapa saat setelah itu.

Jenazah Patuan Nagari dan Anggi dikuburkan bersama SMR. Sekarang ini, nama Patuan Nagari sudah terlupakan, kecuali nama untuk jalan di SUMUT.












Selanjutnya