Breaking News

Raja Rum Alias Raja Stambul

Raja Rum di Tanah Batak

Raja Rum, selain Raja Uti, mempunyai tempat khusus dalam sejarah peradaban Bangsa Batak. Kehormatan dan persembahan diberikan ke hadirat Raja Rum yang diyakini dapat memberi restu dan berkat bagi kelangsungan kerajaan.

Walaupun begitu, tidak ada catatan pasti sejarah, bagaimana Bangsa Batak berhubungan dengan Raja Rum tersebut. Itulah makanya, Modiglinai, pernah menipu orang Batak dengan mengaku sebagai utusan Raja Rum saat menyusup ke tanah Batak. Tipuan ala Eropa tersebut ternyata manjur saat ketahuan oleh pimpinan Batak di tanah Batak.

Siapa sebenarnya Raja Rum yang terkenal itu, Siapa sebenarnya orang yang setiap tahun katanya menerima persembahan dari raja-raja di tanah Batak, tidak terkecuali Dinasti Sisingamangaraja???

Diyakini informasi mengenai eksistensi Raja Rum, kalaupun belum pernah melakukan kontak peradaban dengan Batak, masuk ke tanah Batak, kemungkinan melalui dua jalur. Pertama melalui peradaban Batak pesisir di Barus, kedua melalui kerajaan Aceh yang merupakan sekutu dekat kerajaan Batak. Namun tidak tertutup kemungkinan informasi tersebut berasal dari selatan, yakni Minangkabau yang pernah rajanya memakai gelar Raja Mughal alias Mongol.

Saat kerajaan merdeka Aceh digempur oleh Belanda pada tahun 1873, kerajaan tersebut meminta bantuan dari semua teman sekutunya untuk datang menolongnya. Di antaranya Inggris, Prancis, AS dan Italia. Namun semua negara-negara yang mempunyai kontrak persahabatan tersebut menghianatinya dan tidak mau membantu, Turki tampil dipermukaan untuk membantu mengembalikan kedamaian di wilayah tersebut dari para aksi terror Belanda.

Turki mengemukakan klaimnya bahwa antara Turki dan Aceh sudah terjalin komunikasi persahabatan sejak abad ke-16. Persahabatan tersebut bahkan diperkuat kembali dengan penandatanganan perjanjian tahun 1850 tentang hubungan diplomatik.

Hubungan diplomasi antara Aceh dan Turki berlanjut saat Dinasti Usmaniyah menyelamatkan kawasan Laut Merah dari teror pada bajak laut Eropa pada tahun 1520:

Orang Aceh, mengirim utusan ke Turki dan mengemukakan pengakuan mereka atas kedaulatan Turki dengan kepemimpinan Kalifah, mengakui posisi Sinan Pasha, dan memakai bendera Usmaniyah di pelabuhan-pelabuhan, dan mengumumkan posisi Kerajaan Aceh sebagai sekutu Usmaniyah dan melakukan kerja sama saling melindungi. Sultan Selim menyetujui usulan tersebut. Kerjasama tersebut diujudkan saat Sultan memerintahkan Wazir Sinan Pasha untuk memberikan meriam dan pedang kehormatan yang sampai sekarang masih ada di Aceh.

Raja Rum

Di negara-negara Asia Tenggara di abad ke-15, nama Rum menggambarkan simbol kekuasaan yang sangat misterius yang terletak di arah Barat- yang meliputi nama Roma, Konstantinopel dan Iskandar. Cerita-cerita di Sumatera dan semenanjung Malaysia mengasosiasikan Raja Rum, raja agung dari barat dengan Raja Cina, raja agung dari Timur.

Menurut cerita-cerita rakyat di Johor dan Minangkabau, Iskandar Zulkarnain atau Alexandre the Great mempunyai tiga anak dari anak perempuannya Ratu Samudera. Setelah sebuah kontes adu kesaktian antara ketiganya di Selat Singapura, yang tua mengembara ke barat dan menjadi Raja Rum, dan yang kedua mengembara ke timur dan menjadi Raja Cina sementara yang ketiga bertahan di Asia alias Johor untuk memulai sebuah Dinati Minangkabau.

Di abad ke-18, penguasah di Minangkabau mengklaim dirinya adik laki-laki dari penguasa di Rum dan Cina.

Salah satu legenda di masyarakat Gayo Batak juga terdapat mengenai kondisi seorang anak Raja Rum yang terdampar di pantai. Sementara itu dalam peradaban Batak sendiri secara umum, nama tersebut sangat sakti dan secara legenda sangat berpengaruh ke pemahaman supranatural bangsa Batak. Sebegitu perkasanya nama tersebut, sehingga, dengan mudahnya, Modigliani dari Italia, berbohong dan mengaku sebagai perwakilan dan reinkarnasi Raja Rum, yang begitu saja dipercayai oleh orang Batak secara tulus.

Namun di abad ke-16, mulailah orang-orang di Asia Tenggara mengerti seluk beluk Raja Rum yang misterius tersebut. Raja Rum yang dimaksud dalam legenda-legenda tersebut ternyata adalah Kesultanan Usmaniyah. Lucunya, bangsa Portugislah yang kemudian memaksan penduduk setempat untuk berhubungan dengan 'Raja Rum' di Turki tersebut. Kebengisan bangsa Portugis dan invasi ke Aceh di tahun 1498 yang memaksan Aceh melakukan hubungan diplomatik dengan Turki yang sangat misterius itu. Sebelumnya hubungan tersebut tidak dapat dilakukan kecuali melalui mitos-mitos dan legenda.

Di abad ke-15, rempah-rempah dari Sumatera hampir semuanya dimonopoli oleh Cina apalagi dengan hadirnya bajak-bajak laut Cina seperti Chuan-chou yang mengintimidasi pribumi untuk menjual hasil-hasil rempah hanya untuk dirinya sendiri. Sementara perdagangan ke arah barat terganggu dengan hadirnya kebengisan Portugis tersebut.

Namun pihak-pihak Sumatera dapat mempertahankan hubungan dagang mereka dengan India Selatan, sementara itu, komoditas-komoditas tersebut dijual lagi seterusnya ke Arab dan Afrika oleh orang-orang Gujarat dan pedagang Arab di sana ke Laut Merah dan pelabuhan Teluk Persia.

Rempah-rempah

Kehadiran Potugis tersebut benar-benar membuat industri perkapalan serta alur pelayaran memburuk di tahun-tahun 1500 M, terutama kapal-kapal yang sudah dirampok ketika akan menuju Laut Merah, Mekkah atau Kairo. Lebih lanjut para perompak kapal tersebut bergerak maju dan menguasai Malaka pada tahun 1511, dan dari sini mereka melakukan intimidasi terhadap kesultanan-kesultanan kecil di Sumatera penghasil rempah-rempah.

Pada saudagar-saudagar yang menjadi korban kejahatan dan kebrutalan bangsa barbar Eropa tersebut, berlindung di daerah-daerah yang cukup kuat untuk memberikan perlindungan, seperti Aceh di Asia Tenggara, Calicut di India Selatan dan Turkey di Laut Merah. Turki sendiri sejak tahun 1512-1520 berhasil mengembalikan kedamaian di Laut Merah di pemeritahan Selim I.

Namun, kedamaian tidak langsung dapat diciptakan. Kapal-kapal tersebut menjadi lebih berbahaya berlayar sendirian di lautan luas saat predator Portugis merampoknya. Berlayar sendirian bukanlah sebuah jalan keluar. Kapal-kapal dari Asia Tenggara menjadi sangat tidak mungkin untuk berlayar langsung sampai ke Kairo, Aleksandria dan Venice. Oleh karena itu, sebuah rute alternatif diciptakan oleh saudagar-saudagar Muslim, dimana kapal-kapal Gujarat, Arab dan Turki serta Aceh berlayar langsung ke Laut Merah dengan menghindari sarang bajak laut Portugis di pantai India khususnya di Goa.

Sejarah mencatat pelayaran pertama melalui jalur ini ke Laut Merah tahun 1530. Namun pada tahun 1560, hampir semua kapal-kapal Asia Tenggara ke Eropa dibajak oleh Portugis dan dibawa lari ke Lisbon melalui Cape. Aceh dan Turki, yang mempunyai kepentingan ekonomi yang sama, memulai berinisiatif untuk melakukan penyelesaian atas kebrutalan Portugis ini.

Sultan Usmaniyah, Sulaiman "the Magnificent" (1520-66) merupakan pimpinan pertama yang bersedia mengirimkan kekuatan tentaranya untuk mengembalikan kedamaian di Lautan Hindia. Pada tahun 1537, dia memerintahkan Gubernur Mesir, Sulaiman Pasha, untuk mempersenjatai kapal-kapal perangnya untuk menghalau para bangsa perompak tersebut.

Armada tersebut mencapai Gujarat dan berhadapan dengan kelompok bajak laut Portugis di Diu selama beberapa bulan di tahun 1538, namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Namun beberapa pasukan dari ekspedisi ini berlayar sampai Asia Tenggara, saat Mendez Pinto, menggambarkan kehadiran mereka justru memperkuat Aceh dalam perangnya melawan orang Batak dan Portugis, dan juga membuat Aceh dapat membantu Demak dalam perang melawan kebengisan Portugis.

Sulit untuk menemukan bukti-bukti sejarah, dimana dan kapan orang Aceh berperang melawan Batak ini, seperti yang disebut Pinto. Namun besar kemungkinan yang dimaksud oleh Pinto adalah perang perluasan Aceh di Aceh sekarang ini, dimana mereka mesti berhadapan dengan penduduk Aceh yang dulunya memang serumpun dengan Batak. Mereka ini menganut Hindu kala itu. Besar kemungkinan yang dimaksud Batak tersebut adalah Batak Mante. Mante adalah pribumi aseli Aceh.

Tahun 1560-an, hubungan perdagangan rempah-rempah mencapai puncaknya. Beberapa sumber sejarah dari Venetia, Turki dan Aceh menyebutkan eksistensi kapal-kapal Aceh yang berlayar sampai ke Laut Merah.

Dokumen pertama yang ditemukan dalam misi Aceh ke Istambul bertanggal 1561-2. Dalam merespon surat tersebut pemerintah Turki saat itu mengirimkan delegasi teknisi ahli ke Aceh pada tahun 1564, dan benar-benar disambut oleh Aceh dalam sebuah surat balasan.

Dubes lainnya, Husain, memimpin rombongan dari Turki pada tahun 1566-8, bahkan sampai menghasilkan kerjasama kedua negara dengan sangat sukses. Kedua negara ini kemudian setuju untuk memberikan perlindungan kepada kapal-kapal yang berlayar ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji dari kejahatan perang Portugis.

Orang-orang Asia mulai memahami karakter Eropa yang semakin sering menjarah bumi yang makmur tersebut. Aceh, setelah dijarah bertahun-tahun mulai melakukan kekuatan penuh dengan menggempur sarang Portugis di Malaka tahun 1568 dan tahun 1570 serta tahun 1573. Orang-orang India melalui kesultanan Bijapur, Golconda, Bidar dan Ahmadnagar menggalang kekuatan untuk menyerang sarang Portugis di Goa. Di Maluku, Sultan Baab Ullah dari Kesultanan Ternate (r. 1570-83) melemparkan bajak laut Portugis dari 'spice island' tersebut.

Mengenai hubungan antara Aceh dan Turki disebutkan oleh Nuruddin ar-Raniry:

Dia [Sultan Alau'd-Din Ria'ayat Shah al-Kahar] mencipatakan sistem pemerintahan Aceh Daru's-Salam and mengirimkan utusan ke Sultan Rum, ke Istambul, untuk memperkuat daerah-daerah Islam. Sultan Rum mengirimkan beberapa teknisi dan ahli yang mengerti cara membuat senjata. Saat itulah senjata besar dibuat. Dia juga yang mendirikan Aceh Dar al-Salam. Dia juga yang memerangi orang kafir (Portugis) dengan pasukan yang dipimpinnya sendiri. (Bustan al-Salatin bab II, Fasal 13)

Diyakini melalui Aceh inilah teknologi senjata masuk ke tanah Batak. Sebuah pabrik senjata buatan orang-orang Batak telah didirikan di Lintong Nihuta, tanah Batak pada era pemerintahan Sisingamangaraja XI, pabrik inilah yang menjamin keberlangsungan perang gerilya Sisingamangaraja XII melawan Belanda selama bertahun-tahun sampai akhirnya dihancurkan Belanda. Sekarang ini sisa-sisa senjata 'made in' Batak tersebut sudah jarang ditemukan kecuali dalam gambar-gambar di buku sejarah dan antropologi. Sejak Ompu Sotaronggal (Sisingamangaraja VIII) sampai Sisingamangaraja XII hubungan diplomatik dan ekonomi antara Aceh dan Batak sudah lama terjalin pada puncaknya.

Mitos mengenai Raja Rum tersebut juga diyakini masuk melalui Aceh ini. Kemungkinan sumber lain juga tetap ada karena bangsa Batak banyak menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain seperti Minangkabau dan lain-lain.

Mengenai Raja Cina, yang menjadi penguasa di Timur, diyakini masuk ke dalam peradaban Batak melalui ekspedisi armada Ceng Ho khususnya di Natal atau Singkuang. Dengan demikian kedua mitos tersebut yakni Raja Rum dan Raja Cina, tercipta berkat hubungan simbiosis mutualisme dan saling membangun antara peradaban di Asia Tenggara dengan kedua wilayah tersebut.

By. Julkifli Marbun