Breaking News

Patuan Nagari (5)

Dalam laporan Belanda “Kolonial Verslag”, sebuah laporan resmi yang ditujukan kepada Balai Rendah (atau majelis rendah semacam DPR saat itu) bertahun 1907 mengatakan bahwa telah terjadi bentrokan bersenjata dalam suatu patroli yang dilakukan oleh Belanda ke pedalaman Singkel (biasa disebut Singkel Hulu), ketika mana “chiviel-gezaghebber” merangkap komandan pasukan, letnan kelas I G.B. Watrin, telah menderita luka-luka hebat akibat serangan pejuang-pejuang. Berita lain menyebutkan bahwa Watrin sampai tewas. Watrin termasuk bawahan van Daalen, si genosida dan pembantai orang Batak, dan pernah terluka di Pendeng, perbatasan Gayo, di Tahun 1907. (Tokoh Sisingamangaraja, Muhammad Said, Penerbit waspada 1961, Medan)


Belanda juga menguatkan kejadian itu yang berasal dari laporan intelijen mereka bahwa pemimpin penyerangan ini adalah Sutan Nagari yang dikenal sebagai putera sulung Sisingamangaraja.

Pasukan Belanda saat mendengar kejadian tersebut, dengan gerak cepat melakukan mobilisasi pasukan pendukung untuk memburu Patuan Nagari. Namun, pasukan tambahan ini ternyata mendapat hasil yang nihil. Barulah pada bulan September 1906, pihak intelijen dapat memberi informasi dan mengabarkan bahwa Patuan Nagari telah memindahkan markasnya dari Singkel ke Tanah Karo dalam persiapan melakukan berbagai serangan kembali.

Didapat juga informasi bahwa pasukan Patuan Nagari ini, jumlahnya tidaklah terlalu besar yang mengakibatkan terhambatnya mobilisasi. jumlahnya tidak lebih dari 50 prajurit, namun sebagian besar telah terlatih dan mempunyai persenjataan lengkap. Sungguh mengerikan, memang, pasukan yang hanya berjumlah 50 orang ini lebih tepatnya disebut pasukan bunuh diri atau pasukan berani mati karena menghadapi ribuan pasukan Belanda yang juga dibackup ribuan pasukan Marsuse, orang Indonesia sendiri, dengan persenjataan dan pelatihan yang sudah pasti lebih baik pula.

Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa pada tanggal 25 September 1906 terjadi serangan hebat oleh pasukan Sisingamangaraja terhadap kubu pertahanan Belanda di dekat Turaja, sebelah kanan sungai Kumbi.

Akhirnya, lanjut laporan itu, tibalah titik klimaksnya, Belanda menyimpulakn bahwa:

Pertama, politik kartu KTP atau yang disebut “Gouvernementsgebied”an dari Dairi dan Samosir tidak memberi efek suatu apapun, bahkan sistem kartu penduduk yang sedemikian “streng”-nya dijalankan, tidak membuahkan hasil apa-apa. Politik KTP ini bahkan sampai sekarang masih sering dilakukan sekarang di di daerah-derah yang masih menerapkan sistem penjajahan. Orang-orang yang menjadi kollaborator dikasih KTP secara ketat dan yang dianggap anti tidak diberikan. Sehingga operasi-operasi dilakukan untuk menangkapi orang-orang yang tidak ber KTP dengan dalih untuk membersihkan penduduk liar.

“Dairi en Samosir bleven onder den inloed staan van Singamangaraja” demikian isi laporan itu.

Yang paling menakutkan bagi pihak tentara Belanda adalah saat orang-orang Toba dan Silindung yang selama ini berhasil dijinakkan, telah mulai menampakkan empatinya terhadap perjuangan Sisingamangaraja. Hal itu dibuktikan dengan hubungan-hubungan rahasia yang dilakukan oleh kedua belah pihak. “De onbe truwbaarheid des inlajers”.

Namun dari semua itu yang paling dirisaukan oleh Belanda adalah munculnya gerakan perlawanan massal rakyat yang selama ini diam, yang menyebutkan diri Parmalim. Gerakan ini muncul, salah satunya, sebagai upaya dari perjuangan rakyat anti pemberlakuan pajak (belasting dan heeren-dienst) yang sangat membebani. Soal politik pajak tidak perlu disinggung di sini. Saat itu tampaknya, setiap orang yang bernafas pasti kena pajak Belanda. Parmalim dengan cepat dibumihanguskan Belanda. Yang lain, yang tidak setuju dengan pemajakan ini tapi tidak mau berperang melawan Belanda, memilih untuk melarikan diri ke Malaysia, yang saat itu dikuasai Inggris. (Kemana yah mereka ini sekarang?).
Bersambung