Orin Basuki
PEMISAHAN suatu wilayah dari provinsi induknya dan kemudian membentuk provinsi baru tanpa menghapus provinsi terdahulu, bukanlah fenomena baru di Indonesia. Pembentukan Provinsi Banten yang terpisah dari Jawa Barat, Bangka Belitung dari Sumatera Selatan, atau Maluku Utara dari Maluku merupakan contoh provinsi baru yang terbentuk karena fenomena pembentukan provinsi tadi.
Akan tetapi, jika pembentukan satu atau lebih provinsi kemudian menghasilkan konsekuensi terhapusnya provinsi induk, fenomena itu belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Inilah yang akan terjadi jika isu pemekaran Provinsi Sumatera Utara yang merebak beberapa bulan terakhir ini terwujud.
Pemekaran Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang rencananya menjadi Provinsi Sumatera Timur di wilayah timur dan Tapanuli di sebelah barat, praktis tidak menyisakan wilayah bagi Provinsi Sumatera Utara.
Provinsi Sumatera Timur rencananya akan meliputi sebelas kabupaten dan kota yakni Langkat, Binjai, Medan, Karo, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu. Sementara, Provinsi Tapanuli akan meliputi Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Nias, Tapanuli Tengah, Dairi, Sibolga, Toba Samosir, dan Mandailing Natal.
Upaya pemekaran provinsi yang kini dibawah pimpinan Gubernur T Rizal Nurdin tersebut saat ini masih menjadi polemik antara kelompok pro dan kontra. Namun, kelompok yang pro terhadap pembentukan Provinsi Sumatera Timur dan Tapanuli merasa optimis paling lambat akhir tahun 2002, kedua provinsi tersebut terbentuk.
Kelompok pro pembentukan Provinsi Sumatera Timur yang dimotori Budi Mulia Bangun dan Tengku Luckman Sinar tersebut bahkan sudah membentuk kepanitiaan yang dimantapkan pada 6 April 2002 di halaman depan Istana Maimoon, Medan, berdemonstrasi di halaman Kantor DPRD Sumatera Utara, serta Simposium Sehari Pemekaran Provinsi Sumatera Utara di Berastagi, Kabupaten Karo, 14 Maret 2002.
***
> SEMENTARA, penggagas Provinsi Tapanuli bergerak lebih cepat, sebab mereka sudah mengajukan ide itu sejak tahun 2000. Hingga saat ini setidaknya panitia pembentukan Provinsi Tapanuli sudah mempresentasikan proposalnya di hadapan DPR, dan menyelenggarakan kongres rakyat di Tarutung akhir Maret lalu.
Mereka percaya bahwa pembentukan Provinsi Sumatera Timur dan Tapanuli tersebut berawal dari keinginan untuk melipatgandakan manfaat yang dihasilkan dari pembangunan. Mereka sama-sama meyakini bahwa pemekaran Sumatera Utara menjadi dua provinsi itu merupakan jembatan menuju pemerataan pembangunan antara wilayah timur yang lebih makmur dengan Tapanuli yang dianggap tertinggal dan terlupakan.
"Dengan infrastruktur yang ada, Provinsi Sumatera Timur akan lima kali lebih kaya dibanding sebelumnya. Kalau perlu, nantinya, Provinsi Tapanuli yang juga mau dibentuk, bisa saja minta pinjaman dana pembangunan dari Sumatera Timur sebagai dana awal pembangunan," ujar Luckman, salah seorang penggagas pembentukan Provinsi Sumatera Timur sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Adat Budaya Melayu Indonesia.
Tidak hanya sampai disitu, Luckman mempercayai bahwa Provinsi Sumatera Timur juga dibentuk dengan tujuan positif yaitu untuk menghindari konflik yang dapat terjadi akibat kecemburuan etnis Melayu, Karo, dan Simalungun yang tidak banyak mendapat posisi dalam Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara saat ini.
"Dari dinas-dinas yang ada, hanya delapan keturunan Melayu dan satu orang Karo yang menjabat kepala dinas," kata Luckman.
Pengamatan sejarah pun tidak luput dijadikan argumentasi penguat keinginan kelompok pro pembentukan provinsi baru itu. Salah satu aspek sejarah yang diangkat adalah keberadaan tiga karesidenan di Sumatera Utara pada zaman penjajahan Belanda yakni Karesidenan Aceh, Tapanuli, dan Sumatera Timur.
"Dari semua karesidenan yang pernah ada di Sumatera, tinggal Sumatera Timur dan Tapanuli yang belum jadi provinsi. Di Sumatera Tengah ada Karesidenan Riau, Sumatera Barat, dan Jambi yang sudah jadi provinsi. Di Sumatera selatan ada Lampung, Bengkulu, dan Provinsi Sumatera Selatan, serta Bangka Belitung baru-baru ini," ujar Budi Mulia Bangun.
Para penggagas mempercayai dari sekian banyak hal yang mendorong perlunya pemekaran Provinsi Sumatera Utara, semuanya bermuara pada pencapaian pembangunan bidang ekonomi pada provinsi baru.
"Selama ini PAD (pendapatan asli daerah) yang dihasilkan dari Sumatera Timur malah mengalir ke daerah Tapanuli, yang katanya tertinggal. Tapi, setelah dikucurkan dananya, tetap saja tidak berkembang, karena memang pusat perekonomian sudah telanjur ditetapkan di Medan. Jadi hanya daerah di sekitar Medan itu yang berkembang, sedangkan pantai barat tetap saja terpuruk," ujar Budi.
Data dalam proposal panitia pembentukan Provinsi Sumatera Timur menunjukkan, sebagian besar daerah di Pantai Timur mempunyai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per penduduk di atas rata-rata daerah di Pantai Barat. PDRB per penduduk di Pantai Timur rata-rata di atas Rp 2 juta, sedangkan di Pantai Barat rata-rata di bawah Rp 2 juta.
Akan tetapi, jika diukur dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten dan Kota, APBN, serta bantuan luar negeri lima tahun terakhir, terlihat justru kabupaten dan kota di Pantai Barat yang rata-rata mendapatkan bagian lebih banyak.
Alokasi tertinggi diberikan kepada Kabupaten Tapanuli Selatan Rp 200,2 milyar, disusul Medan Rp 127,9 milyar, dan Tapanuli Utara Rp 110,4 milyar. Dari total APBD, APBN, dan bantuan luar negeri Rp 1,172 trilyun yang masuk Sumatera Utara sejak 1997 hingga 2001, rata-rata kabupaten atau kota yang nantinya masuk ke Sumatera Timur hanya mendapat Rp 55,64 milyar, sedangkan di Tapanuli Rp 70,01 milyar per kabupaten atau kota.
Dengan kondisi tersebut, wilayah Sumatera Timur tidak lagi dapat mengembangkan diri secara maksimal. Hal itu terjadi karena sebagian besar hasil pembangunan dari wilayah Sumatera Timur digunakan membiayai ketertinggalan daerah di Pantai Barat.
Kondisi itu pula yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di beberapa daerah di Sumatera Timur, seperti di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Di kecamatan tersebut, 84 persen penduduk berada di bawah garis kemiskinan, padahal kota tersebut hanya berada sekitar 30 kilometer dari pusat perkembangan di Kota Medan.
***
LALU apakah dengan pemekaran Provinsi Sumatera Utara akan benar-benar terselesaikan masalah ketimpangan ekonomi itu?
Seorang pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Jhon Tafbu Ritonga mengatakan, selama pembangunan di Sumatera Timur masih dirasakan kurang, maka hal yang lebih buruk juga akan terjadi di Tapanuli.
Hal tersebut disebabkan konsentrasi pembangunan sejak awal telanjur dilakukan di Sumatera Timur terutama Medan. Apalagi dengan kondisi pendapatan perkapita penduduk yang lebih tinggi di Sumatera Timur dibandingkan Tapanuli. membuat Pantai Barat makin tertinggal.
Dengan demikian, jika dilihat dari ekses ekonominya, pemekaran Provinsi Sumatera Utara akan menimbulkan konsekuensi terhadap anggaran yang harus dipikul masyarakat. Bertitik tolak pada APBD Sumatera Utara 2002 yang menetapkan biaya rutin Rp 616,383 milyar, setiap penduduk di Sumatera Utara harus memikul beban Rp 53.500.
Jumlah beban tersebut akan semakin besar apabila Provinsi Sumatera Timur dengan penduduk 7,3 juta jiwa, harus memikul beban anggaran rutin Rp 83.500 per-kapita. Itu berarti, jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan penduduk sebelum dimekarkan, karena jumlah penduduknya lebih banyak.
Lebih jauh, Jhon Ritonga mengemukakan, pembentukan provinsi baru di Sumatera Utara tidak akan serta-merta memuluskan upaya orang-orang beretnis minoritas seperti Karo, Melayu, dan Simalungun menduduki bangku kepemimpinan di pemerintahan daerah seperti yang mereka inginkan.
Jika wilayah Sumatera Timur akan meliputi 11 kabupaten dan kota tadi, jumlah penduduknya sekitar 7,3 juta jiwa. Dari jumlah tersebut proporsi, terbanyak masyarakat Jawa (45 persen), serta Batak dan Mandailing (24 persen). Sementara itu, Melayu (8 persen), Karo (6 persen), dan sisanya Simalungun, Nias, Pakpak, Aceh, Minang, dan Cina menduduki posisi minoritas dengan 17 persen.
Dengan proporsi tersebut, dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, seorang calon gubernur yang berdarah Jawa justru akan mendapat peluang sangat besar untuk terpilih, dibanding calon lain yang beretnis minoritas.
"Dengan demikian, pembentukan provinsi baru yang berdasarkan pertimbangan etnis tidak akan memberikan hasil yang memuaskan bagi semua etnis, terutama etnis minoritas," kata Jhon.
Kemudian jika pandangan dialihkan pada masalah pertanahan, rupanya masih banyak konflik pertanahan yang belum tuntas di wilayah Sumatera Utara ini. Bahkan pada beberapa kasus, konflik pertanahan itu berpotensi menjadi konflik antar-etnis.
"Banyak masalah pertanahan yang tidak pernah diselesaikan tuntas dan serius. Sejak tiga tahun lalu, masih ada sekitar 170 kasus pertanahan di Sumatera Utara yang belum diselesaikan. Sementara, tim penyelesaian sengketa tanah yang dibentuk pemerintah provinsi malah tidak berfungsi dengan baik, " ujar Budi Agustono, pengamat masalah pertanahan dari USU.
Budi mengkhawatirkan, konflik tanah yang berkelanjutan tanpa penanganan serius akan bergeser ke arah konflik antar-etnis. Hal tersebut terjadi sebab ada kecenderungan tanah tidak hanya diduduki oleh satu etnis, tetapi oleh beberapa etnis dengan alasan untuk mempertahankan hak ulayat mereka terhadap tanah tersebut.
"Salah satu kasus yang berpotensi menjadi konflik terbuka adalah klaim dari BPRPI yang menyatakan lahan perkebunan di Medan, Deli Serdang, dan Langkat milik leluhur mereka. Ini berpotensi menjadi konflik terbuka sebab seringkali pihak perkebunan menetapkan pendekatan represif dalam penanganannya," kata Budi.
***
SEMENTARA itu, kompleksitas pembentukan provinsi baru yang makan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, membuat pemekaran Provinsi Sumatera Utara ini bukan hal yang mudah di realisasikan. Bagaimanapun dalam Peraturan Pemerintah No 129 Tahun 2000 yang mengatur tentang pemekaran daerah, restu DPRD dan gubernur pada provinsi induk mutlak diperlukan.
Dalam hal ini, Gubernur Provinsi Sumatera Utara T Rizal Nurdin menegaskan, pemekaran provinsi tersebut hanya sebatas wacana saja. Hal tersebut belum merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan.
"Sebatas wacana boleh-boleh saja. Yang jelas, saat ini ada hal yang lebih penting yakni memprioritaskan pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Lagi pula, proses pemekaran provinsi itu memerlukan biaya yang cukup besar, terutama untuk menggaji pegawai nanti," kata Nurdin.
Melihat kondisi itu, salah seorang anggota penasihat panitia pembentukan Provinsi Sumatera Timur, Bachtiar Jaffar pesimis pemekaran Sumatera Utara menjadi dua provinsi akan terwujud akhir 2002 ini.
"Sekarang pengajuan ke DPR saja belum dilakukan. Padahal idealnya, setelah panitia pembentukan provinsi mempresentasikan proposal di DPR dan Depdagri, perlu waktu dua tahun untuk pembentukannya," kata Jaffar yang juga mantan Wali Kota Medan.
Bagi Tapanuli, masih ada ganjalan yang tidak bisa diabaikan yakni kondisi sosial dan politik yang berbeda antara wilayah utara dan selatan.
Sebuah penelitian yang dilakukan Lance Castle mengemukakan sebuah kenyataan bahwa sebenarnya orang Mandailing dan orang-orang di Tapanuli bagian Selatan justru tidak bersedia disebut sebagai orang Batak. Mereka memilih bergabung dengan Sumatera Barat yang mempunyai perasaan yang lebih kuat sebagai satu kesatuan daripada bergabung dalam satu institusi yang sama dengan Batak Toba di Tapanuli bagian utara.
Dengan kata lain, pembentukan Provinsi Sumatera Timur dan Tapanuli masih membutuhkan kajian yang mendalam sehingga dapat diketahui biaya dan manfaat nyata serta akurat yang dapat dinikmati masyarakat luas nantinya. Pembentukannya harus dapat dibuktikan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan justru menambah beban masyarakat.
"Kesimpulannya, pembentukan provinsi baru itu harus dilakukan secara rasional, bukan karena dorongan primordialisme atau sentimen etnis semata," kata Jhon Tabu Ritonga. (m02)
Selanjutnya
Mau Belajar Aksara Batak?? Klik Di sini